Lagi, Buruh Migran

by -2217 Views

 

BURUH-MIGRANBeberapa waktu lalu di daerah tangerang, sempat ditemukan para calon buruh migran dalam keadaan yang menyedihkan. Di rumah yang disebut mereka sebagai rumah penampungan sementara itu, tidak terdapat fasilitas yang memadai. Petugas mendapati 70 calon TKI yang sedang berada di sejumlah ruangan. Wajah calon TKI tampak lebih muda dari usia mereka. Penampungan terlihat kotor dan kurang layak. Hawa juga terasa panas karena kurangnya ventilasi serta lokasi menjemur pakaian yang sempit. Para calon TKI tidur, makan dengan tidak selayaknya.

Rata-rata mereka tergiur oleh janji para sponsornya. Bahkan ada yang sudah 1,5 tahun tinggal di sana tanpa kejelasan status. Di Malaysia, belum lama ada tki yg mati kelaparan, 2 tahun bekerja berat badan turun 20 kg dari 40kg. Dan baru-baru ini seorang TKI yang dipancung di Arab Saudi, Ruyati. Padahal kasusnya sudah dari tahun 2010 yang lalu. Dan konon keberangkatan ke Arab Saudi yang terakhir kali buat almarhumah ini adalah kepergian untuk yang ke 4 kalinya.

Per definisi, pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi. Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena persoalan TKI ini seringkali menyentuh para buruh wanita yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI biasanya diidentikan dengan Tenaga Kerja Wanita.(Edi Suharto, Phd)

Ada 6 juta TKI yang bekerja di LN baik pekerja formal maupun informal (sumber NGO). Mereka tersebar di 42 negara. Dengan angka Remittance 100 Trilyun/tahun. Negara tujuan terbesar ada di Malaysia dengan 1.200.000 jiwa dan kedua Arab Saudi 927.000 jiwa.
Menurut BNP2TKI dalam seminar Buruh Migran Perempuan yang diadakan oleh BMOIWI di jakarta, Latar belakang dikirimnya TKI ke luar negeri yang pertama adalah karena tingkat kesediaan lapangan kerja yang sangat kecil. Walaupun seperti yang sudah kita tahu bahwa pada kenyataannya penanganan TKI tersebut, dari pra keberangkatan hingga kepulangan masih banyak terjadi
Masalah di sana sini.
Dari pra keberangkatan saja sudah banyak terjadi trafficking dan penipuan. Belum lagi masalah kepulangan. Seperti diskriminasi di bandara, dll. Sungguh menyedihkan. Semua bagaikan lingkaran ketakutan yang tak berujung. Mereka berangkat tak dibekali dengan keahlian yang memadai serta buta akan adat istiadat negara tujuan. Yang menjadi korban tentu saja bukan hanya TKI tersebut akan tetapi para majikan juga ikut menjadi korban. Seperti contoh kecil, ada TKI di Arab Saudi yang keluar masuk kamar mandi hanya berbekal handuk di tubuhnya. Itu bisa menggambarkan ketidaktahuan mereka akan atmosfer negara setempat.

Selama ini hanya proses akhir saja yang menjadi konsentrasi pemerintah dan NGO setempat. Maksudnya titik awal maksud pengiriman TKI tersebut belum diusahakan, untuk diminimalisir. Padahal implikasi sosial pengiriman TKI yang kebanyakan perempuan itu, menurut Heru Susetyo dari PAHAM, antara lain:
1. Istri/Ibu bekerja di luar negeri
2. Perselingkuhan
3. Perceraian
4. Kejutan Budaya
5. Anak Terlantar
6. Menjadi TKI menjadi budaya

Alangkah baiknya bila kita mulai memikirkan untuk meminimalisir bahkan menghentikan sama sekali, bukan moratorium sementara, pengiriman tenaga kerja yang hanya mengandalkan tenaga saja bukan keahlian yang berlatar belakang pendidikan dan ketrampilan. Tingkat pendidikan mereka yang rendah hanya akan menjadi mata panah masalah.

Penanganan masalah buruh migran ini bisa dimulai dari:

1. Pemda setempat. Banyak daerah di tempat yang sebenarnya mereka punya kekeyaan alam yang potensial, yang ternyata cukup banyak mengirim warganya untuk pergi menjadi TKI. Padahal banyak lahan pertanian, perkebunan, perikanan, dan sektor lainnya yang masih bisa digarap. Ironis.
Bahkan konon di Hongkong ada beberapa lulusan Sarjana yang terpaksa mendedikasikan dirinya untuk kerja sebagai pembantu rumah tangga di sana.
2. Penertiban PJTKI yang bermasalah. Harus ada standar untuk para calon TKI yang dikirim dan juga standar PJTKI yang bertanggung jawab. Seperti contoh kasus di Tangerang di atas, PJTKI yang dimaksud ternyata salah satu PJTKI yang bonafid. Cabang mereka di daerah, penggunaan calo di lapangan kebanyakan sudah menjadi mata rantai kejahatan. Jadi diharapkan sudah ada standardisasi buat keduanya. Baik PJTKI maupun TKI-nya.

3. Dari pihak pemerintah harus ada goodwill untuk bisa merubah UU yang bermasalah seperti, UU no.39 tahun 2004 yang berpihak pada PJTKI tanpa memiliki instrumen perlindungan. Merativikasi Konvensi ILO no 90 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya. Pengaturan perlindungan buruh migran Indonesia peraturan yang berlaku saat hanya sebatas peraturan setingkat menteri, padahal persoalan lurusan buruh migran Indonesia bersinggungan dengan lintas departemen dan lintas negara. Pengaturan buruh migran Philipina diatur dalam suatu undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap buruh migran yaitu Republik Act 8024 (The Migran Workers and Filipinos Act of 1995). Keberhasilan Philipina dalam menangani penataan tenaga kerja Philipina di luar negeri pada umumnya tidak terlepas dari peranan Departemen Tenaga Kerja Philipina dan 3 (tiga) badan penunjangnya seperti Philipine Overseas Employment Administration (POEA), Overseas Welfare Worker Administration (OWWA), dan Technical Education and Skill Development Authority (TESDA). Perlindungan hukum buruh migran Indonesia masih memiliki kelemahan sehingga belum cukup efektif dan maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran.

4. G2G dengan negara penempatan. Indonesia harus membuat dan memperbaharui MoU dengan negara penempatan tersebut. Dan juga menempatkan atase sosial atau ketenagakerjaan yang mengurus masalah TKI di negara tersebut dengan sebenar-benarnya. Namun yang terjadi sekarang malah pengkerdilan peran atase tersebut.

Semoga di waktu mendatang tidak ada lagi warga negara Indonesia yang menjadi objek penderita masalah kemanusiaan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kita semua harus mampu bangkit dari keterpurukan mental, dimanapun peran yang kita mainkan sekarang. Wallahu’alam

*Ba’da  seminar yang dihadiri PP Salimah serta ormas-ormas yang menjadi anggota BMOIWI tentang ‘Buruh migran Perempuan Indonesia’ yang diadakan di gedung MUI. Jum’at, 24 Juni 2011. Dengan narasumber dari BNP2TKI, PAHAM (bapak Heru susetyo), dan Komnas Perempuan (ibu Tumbu Saraswati)*

dikirim oleh: Hj. Fyanti Widuri, ST

Leave a Reply