Salimah & Pergerakan Perempuan Indonesia

by -2783 Views

Salimah hadir berbekal pengalaman para pendiri dan pengurusnya yang cinta akan perjuangan demi memberi solusi atas permasalahan umat. Jauh sebelum Salimah hadir di tengah masyarakat Indonesia, telah lahir pergerakan perempuan yang mayoritas dilatarbelakangi oleh tuntutan kondisi dan situasi yang telah menjadi sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Penjajahan atas negara dan bangsa Indonesia dalam kurun 350 tahun, telah melahirkan semangat pantang mundur, rela mengorbankan harta dan nyawa demi mempertahankan tanah air serta melawan diskriminasi terhadap perempuan dan pembodohan generasi bangsa.
Sejarah telah mencatat begitu banyak nama pejuang perempuan, diantaranya Laksamana Malahayati asal Aceh yang telah memimpin 2.000 orang pasukan Inong Bale (janda-janda pahlawan yang tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tahun 1599. Masih dari Aceh, sejarah memperkenalkan nama pejuang perempuan di zaman penjajahan Hindia Belanda, seperti Cut Meutia dan Cut Nyak Dien. Dari Bumi Jawa telah dikenal nama Raden Ayu Ageng Serang, bahkan dunia pendidikan telah menorehkan nama baik Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said dan tokoh lainnya.

Sejarah mencatat bahwa organisasi perempuan yang pertama kali berdiri, Poetri Mardika pada tahun 1912 di Jakarta atas prakarsa Boedi Utomo, guna memberikan bantuan, bimbingan dan informasi kepada perempuan pribumi akan hak pendidikan, berlatih menyatakan pendapat di muka umum, menghilangkan rasa rendah diri dan memupuk rasa percaya diri pada kaum perempuan. Saat itu sudah mampu menerbitkan majalah dalam bahasa Sunda, bernama “Penoentoen Isteri”.

Bak jamur di musim hujan, pergerakan perempuan pun mulai tumbuh subur di berbagai wilayah, khususnya Pulau Jawa, seperti “Kartini Fonds” (Dana Kartini) pada tahun 1912 dan di tahun berikutnya di Semarang, Madiun, Malang, Cirebon, Pekalongan, Indramayu, Surabaya, Rembang dan Bogor.

Fokus kerja berbagai perkumpulan, organisasi, sekolah pada masa itu pada bidang pendidikan. Telah berdiri Kautamaan Isteri di Tasikmalaya di tahun 1913, di Kota Padang pada tahun 1915. Kerajinan Amal Setia di Sumatera Barat pada tahun 1914, Gorontalo Mohammdedaansche Vroumen Vereniging di Gorontalo saat masih bergabung dengan Sulawesi Utara pada tahun 1920. Juga berdiri Sarekat Kaum Ibu Sumatera di Bukittinggi dan pergerakan lainnya.

Pada tahun 1920-an inilalh pertumbuhan organisasi perempuan meningkat, kemampuan dalam berorganisasi menjadi lebih baik, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, kaum perempuan Indonesia terus belajar dengan penuh semangat. Disamping kesediaan kaum perempuan untuk terlibat dalam organisasi lebih meningkat dan bertambah maju hamper di semua tempat.

Baru menjelang tahun 1928, organisasi perempuan berkembang lebih pesat dari sisi jumlah, cara bergerak maupun ruang lingkup kerjanya. Bahkan ada yang mulai berhaluan politik, seperti Ina Tuni dan berbagai organisasi perempuan yang merupakan bagian dari partai, misalnya bagian dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Serikat Islam dan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi).

Bersama Menjawab Persoalan Bangsa

Sifat pergerakan perempuan Indonesia selama 25 tahun pertama bersifat kultural. Memperjuangkan nilai-nilai baru dalam pendidikan, kesusilaan dan perikemanusiaan, cinta kepada budaya sendiri serta menuju pada usaha meningggikan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat.

Semangat nasionalisme dalam Sumpah Pemuda yang lahir pada Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 menggugah semangat kaum muda dan para aktifis perkumpulan perempuan saat itu. Organisasi perempuan yang semula masih bersifat local dan berjuang sendiri-sendiri, kemudian menggalang persatuan yang berdasarkan kesadaran nasional, melalui Kongres Perempuan Indonesia. Wacana yang bermunculan terkait upaya bersama-sama membicarakan kewajiban, kebutuhan dan kemajuan perempuan.

Perjuangan dan pemikiran perintis pergerakan perempuan Indonesia tersebut menjadi inspirasi dan bekal bagi perempuan Indonesia untuk selalu mengikuti perkembangan dunia, peduli terhadap persoalan social kemasyarakatan dan lingkup kebangsaan. Seiring dengan infiltrasi budaya yang masuk ke dalam budaya bangsa Indonesia, menyebarnya komunikasi dan informasi yang dilatarbelakangi oleh kemajuan teknologi audio-visual, maka problematika kebangsaan pun semakin bertambah dan merambah berbagai aspek dalam kehidupan perempuan, keluarga dan generasi bangsa.

Deklarasi Salimah di Jakarta pada tanggal 8 Maret 2000, dilatarbelakangi oleh kepedulian dalam merespon berbagai persoalan perempuan dan keinginan untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan Indonesia. Salimah berharap bisa menjadi bagian dari gerakan perempuan Indonesia menghadapi kompleksitas masalah, seiring dengan perubahan zaman, dekadensi moral dan tantangan global.

Salimah beranggapan bahwa kompleksitas masalah yang dihadapi kaum perempuan Indonesia, harus dihadapi dengan perjuangan yang tidak kenal henti, yakni bersama pergerakan perempuan dan segenap komponen bangsa melaksanakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, mengembangkan daya kemampuan manusia Indonesia, agar bertakwa kepada Allah, memiliki akhlak mulia, bijak terhadap lingkungan, hidup lebih sehat dan cerdas, serta menghargai sesama manusia.

Ormas yang dalam perjalanannya lebih dikenal terdiri dari pengurus yang muda-muda, tetap menyadari keberadaannya di tengah pergerakan perempuan Indonesia, berkeinginan untuk terus belajar dan berdampingan dengan organisasi perempuan yang jauh lebih berpengalaman. Ruh kebersamaan ini bisa dirasakan saat Salimah resmi diterima sebagai anggota organisasi federasi, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 2007. Perasaan senasib, sepenanggungan dan semangat kebersamaan itu juga dirasakan Salimah, saat berkiprah bersama ormas muslimah yang terkumpul dalam keanggotaan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) pada tahun 2008.

Salam
Siti Faizah