CHARGER YANG TERTUKAR

by -1332 Views

ayah anak web

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa jadinya dunia tanpa charger? Tentu kita akan mengalami kegalauan massal di saat HP lowbat. Kaum ababil  alias ABG labil mendadak stress karena gak bisa upload foto narsis mereka di akun sosmed. Golongan  buncis  (bunda cantik pengen eksis) bisa histeris akibat terhalang melihat tutorial hijab gaul mode terkini di kanal yutup. Para politisi pun bisa gagal kampanye pencitraan karena tak bisa lagi menulis pesan-pesan yang bertemakan “Demi Bangsa dan Negara” kepada follower setianya. Termasuk pilunya para pedagang online yang kerap menuduh pelanggannya pengikut ISIS, karena sering banget memanggil dengan sapaan “Hey, SIS!”, kelak kan gulung tikar juga. Orderan batal gegara terputus koneksi dengan internet di saat lowbat. Satu-satunya yang bergembira ria ya tukang ojek pangkalan atau taksi non online. Pelanggan bak CLBK pada balik pakai jasa mereka karena HP dan gadget sudah tak ada guna.

 

Ya, ini era cyber. Dimana HP dan gadget canggih bersliweran dalam beragam merk sudah jadi kebutuhan pokok. Kalau nasi mengeyangkan perut, maka HP mengenyangkan batin khususnya bagi anak muda di zaman ini. Dan demi menjaga vitalitas nyawa benda ini, maka charger amat dibutuhkan sebagai nyawa cadangan. Tak ada charger maka siap-siap mengadakan ‘tahlilan’ atas wafatnya HP tersayang. Charger memberi energi agar HP kesayangan kita bisa ON terus setiap hari.

 

Namun bahasan kita kali ini sebenarnya bukan tentang charger dan perangkat elektronik lainnya. Sebelum saya disangka sebagai engkoh engkoh di pasar roxy, perlu saya tegaskan bahwa uraian kali ini tentang peran ayah sang Fatherman sebagai charger bagi anak. Jika jiwa anak ibarat HP atau gadget, maka AYAH semestinya menjadi charger yang memberikan energi kepada anak dalam menjalani hari yang semakin sulit.

 

Sayangnya, banyak anak yang di saat lemah batin dan jiwanya, justru pihak lain yang menjadi charger alias motivator bagi mereka. Tengoklah anak-anak muda masa kini yang lebih termotivasi dengan pesan Om Mario Teguh dibandingkan ayahnya sendiri. Di saat mereka malas belajar yang terngiang justru pesan Om Mario “Adikku-adikku, silahkan kau nikmati bermalas-malasan hari ini. Kelak kau kan tersengal-sengal sesak di saat tua menyesali kemalasanmu di hari ini”. Ajaib. Banyak anak muda yang langsung bangkit dari kemalasannya dan langsung buka buku tuk belajar meski kemudian wajah tersungkur mencium sampul buku saking ngantuknya. Yaah setidaknya kalimat Om Mario tersebut bisa menjadi setrum darurat yang memberi energi untuk sekedar miscall kepada jiwa yang terkulai lemah (apa sih?).

 

Padahal apa yang disampaikan oleh Om Mario sudah sering kali diwasiatkan sang ayah dengan kalimat yang meski beda tapi maksudnya sama : “Kalau kamu malas sekolah, gak ayah kasih uang jajan. Ingat itu!”. Ternyata si anak gak merasakan efek apa-apa. Tetap asyik memeluk guling kesayangannya sambil bermimpi ketemu artis idolanya. Mager di pagi hari.

Inilah kondisi yang disebut “charger yang tertukar”. Dimana anak lebih termotivasi dengan petuah orang lain dibandingkan ayah sendiri. Mereka kadung menganggap para motivator semisal Mario Teguh sebagai sosok yang sempurna. Nyaris tanpa cela. Padahal sehebat-hebatnya Om Mario teguh, ia tak mampu memotivasi rambutnya sendiri untuk tumbuh. Ups… maaf Om Mario. Plis jangan marah ya walaupun bener. Sambil membayangkan ucapan “Anda Superrr sekali!” disertai jeweran. Tapi Om Mario dan motivator lain yang semisal tidaklah salah. Justru mereka sejatinya mengajarkan bagaimana agar ayah bisa jadi motivator handal khususnya bagi sang anak di saat mereka membutuhkan.  Menjadi charger yang orisinil, bukan KW, bagi jiwa anak di saat lowbat.

 

Karena itu, sang Fatherman, ganti segera kostummu. Mulai kenakan topi motivator sebagai kostum yang melekat dalam lakon Fatherman kali ini. Topi motivator ini sebagai pengingat bahwa ayah adalah sumber setrum utama bagi anak. Dimana jika anak malas tak bergairah bisa jadi karena ayah yang belum dianggap jadi motivator bagi sang buah hati. Bagaimana caranya? Apakah ayah harus belajar menyusun kalimat yang tidak biasa dengan irama yang audiogenic? Sambil suara direndahkan seperti suara operator telpon atau dubber iklan? Tentu tidak. Yang ayah butuhkan selaku Fatherman agar bisa jadi motivator utama bagi anak hanya dua : kredibilitas  dan momentum.

 

Kredibilitas adalah dimana sosok ayah memang layak jadi contoh dan teladan. Diakui dan dibanggakan oleh sang anak. Jangan sampai ayah nyuruh anak rajin belajar padahal ayah sendiri jarang baca buku. Sekalinya baca buku, paling buku tabungan disertai ratapan, “Kok saldonya cuma sepuluh ribu ya?”. Anak menganggap nasehat ayah yang tidak kredibel cuma bualan. Gak nyetrum, karena salah charger. Atau mungkin sesuai chargernya tapi KW. Malah merusak. Bandingkan jika ayah adalah sosok yang membanggakan dan istimewa. Segudang prestasi diraih. Memiliki pribadi yang antusias dan penuh semangat. Cukup ayah mendehem saja disertai bahasa tubuh yang ok, anak sudah memiliki gairah tanpa perlu diberi ceramah. Ingatlah wahai ayah, sang Fatherman harus jadi contoh.  Inilah cara mudah meraih kredibilitas dan kewibawaan meski ayah tak mampu menyusun kalimat seindah Mario teguh.

 

Modal yang kedua adalah momentum. Yakni  kemampuan ayah melihat golden moment untuk memberi setruman energi bagi anak.  Dimana anak amat membutuhkan kehadiran ayah di situasi ini. Contohlah Rasul. Suatu hari beliau melewati Bani Aslam yang sedang melakukan lomba memanah. Pada saat Rasul melihat kejadian tersebut, Rasul mampir sejenak seraya memberi motivasi anak-anak yang sedang lomba dengan kalimat “Teruslah memanah keturunan Ismail. Sesungguhnya kakek moyangmu seorang pemanah!”. Dan sungguh luar biasa. Motivasi singkat Rasul saat itu mampu membuat anak-anak merasakan energi lomba berkali-kali lipat. Hingga dikenal dalam sejarah, Bani Aslam menjadi pemasok pemanah unggul di zamannya.

 

Perhatikan bagaimana Rasul memanfaatkan momentum tuk menjelma menjadi motivator yang mumpuni bagi anak-anak. Yaitu disaat anak unjuk prestasi atau sedang kompetisi. Inilah saat dimana kehadiran ayah sebagai Fatherman amat dinantikan. Di saat mereka mentas atau beraksi, bukan tepuk tangan guru atau teman yang diharapkan. Kehadiran ayah yang dicintai lah yang mereka rindukan. Jika ayah tak ada, prestasi yang diraih tak berarti apa-apa. Standing applause dari para khalayak tak mampu menggembirakan hatinya. Sebab ayah tak nampak di hadapannya. Inilah penyebab lambat laun mereka kehilangan gairah.

 

Selain itu, lihat kalimat yang meluncur dari lisan Rasul dalam memberi motivasi. Singkat dan menohok. Tak perlu pakai kalimat yang meliuk-liuk. Cukup dengan kalimat dorongan seraya menyebutkan kebesaran atau kemuliaan nasab. Entah kakek atau ayah ataupun buyut. Yang sesuai dengan bidangnya anak. Ingat! Yang disebutkan tentu prestasi baiknya. Bukan yang buruk. Jangan sampai misalnya, kakeknya yang dikenal penjahat malah dibanggain, “Semangat nak larinya! Kakekmu dulu copet ternama di kampung kita. Larinya kuat!” Ini menjerumuskan anak. Bahayyaa!

 

Dengan kata lain, agar anak menjadikan ayah sebagai motivator utamanya, selalu jaga kredibilitas nasab di hadapan anak dengan teladan kebaikan yang patut ditiru. Dan bukan hanya ayah, namun juga kakek hingga buyut dan seterusnya dengan cerita-cerita penuh makna dan hikmah. Kemuliaan nasab bisa jadi pemicu dan pemberi energi yang sesuai bagi jiwa anak. Dan berikutnya, tak lupa untuk selalu hadir di moment istimewa anak saat ia mentas dan unjuk prestasi. Ini adalah undangan yang tak bisa ditolak. Sama seperti ketika kita diundang hadir untuk dimintai keterangan di gedung KPK. Wajib hadir sesibuk apapun, itu intinya.

 

Kemampuan ayah selaku Fatherman sebagai motivator utama bagi anak ibarat HP dengan charger yang tak bisa dipisahkan. Satu paket saat awal membelinya. Anak yang jiwanya terkulai lemah sejatinya sedang lowbat dan butuh dicharge. Segera ambil kesempatan itu, agar tak ada charger lain yang menelikung. Dimana merk lain memang banyak yang bagus dan layak dicoba, namun yang orisinil tetaplah ayahnya, sang Fatherman. Lagipula, untuk anak kok coba-coba?

Ustadz Bendri Jaisyurrahman  @ajobendri