PENDIDIKAN KELUARGA

by -1983 Views

hilma-4

Pendidikan adalah suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna sehingga dapat melaksanakan perannya dengan baik. Begitu penting pendidikan dalam Islam, sehingga merupakan suatu kewajiban perorangan. Rasulullah SAW bersabda:

“Menuntut ilmu itu diwajibkan atas setiap muslim”

Dalam lingkup keluarga, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim [66] ayat 6 yang artinya:

“Wahai oarang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”

Bagaimana caranya agar diri dan keluarga kita selamat dari api neraka ? Caranya adalah dengan mendidik seluruh anggota keluarga dengan ajaran agama yang baik dan benar.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan, memberikan landasan dasar bagi proses belajar pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Keluarga yang mempunyai sumber bacaan dan anggota keluarganya gemar belajar dan membaca akan memberikan dukungan positif terhadap perkembangan belajar dari anak. Hubungan antar anggota keluarga juga memegang peranan penting dalam belajar. Hubungan yang akrab, saling menyayangi, saling mempercayai, saling membantu, saling tenggang rasa, saling mengerti, dan sebagainya.[1]

Islam sangat memperhatikan keluarga bahkan sebelum terbentuknya. Perhatian ini berterusan sesudah keluarga terbentuk, memberi petunjuk kepada anggota keluarga, cara-cara bekerjasama antara anggota-anggotanya untuk menguatkan dan mengokohkan supaya dapat memikul tanggungjawab besar yang dipikulnya, yaitu pendidikan, bimbingan dan pemeliharaan.[2]

Pembentukan anak bermula atau berawal dari keluarga. Pola asuh orangtua terhadap anak-anaknya sangat menentukan dan mempengaruhi kepribadian (sifat) serta perilaku anak (Olds and Feldman, 1998). Anak menjadi baik atau buruk semua tergantung dari pola asuh orangtua dalam keluarga.[3]

Sayangnya, dewasa ini peran orangtua yang memiliki tanggung jawab penuh dalam mendidik anak, perannya dilimpahkan pada para pendidik formal (guru). Hal ini berkaitan erat dengan tuntutan kehidupan yang mengakibatkan kedua orangtua harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu, minimnya waktu (bagi orangtua pekerja) dan minimnya ilmu pendidikan dan pengetahuan para orangtua menjadi alasan mengapa orangtua menyerahkan pendidikan anak-anaknya pada para pendidik formal. Padahal, jelas sekali dalam ajaran Islam memerintahkan agar para orangtua khususnya ayah berperilaku sebagai kepala atau pimpinan dalam keluarga dan juga kewajiban untuk memelihara keluarganya dari api neraka.

Keluarga bertanggung jawab mempersiapkan anak untuk siap berbaur dengan masyarakat. Sebagai lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan anak, keluarga memiliki peran strategis dalam pembinaan karakter anak. Ikatan emosional yang kuat antara orangtua dan anak menjadi modal yang cukup signifikan untuk pembinaan karakter dalam keluarga.

Ibnu Qayyim berkata:

‘Anak kecil di masa kanak-kanaknya sangat butuh kepada seseorang yang membina dan membentuk akhlaknya, karena ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebiasaan yang telah dibiasakan kepadanya. Jika seorang anak –dimasa kanak-kanaknya- selalu dibiasakan dengan sifat pemarah, dan keras kepala, tidak sabar dan terlalu tergesa-gesa, menuruti kehendak hawa nafsu, gegabah dan rakus, maka semua sifat ini akan sulit diubah di masa dewasanya, karena ia telah menjadi watak dan karakter yang tertanam kuat dalam jiwanya. Maka jika seorang anak dibentengi, dijaga, dan dilarang dari melakukan semua bentuk keburukan tersebut, niscaya ia akan benar-benar terhindar dari semua sifat itu. Oleh karena itu, kadang engkau mendapati manusia yang buruk akhlaknya dan menyimpang dari syariat yang benar, hal itu yang tidak lain kecuali karena dampak kesalahan tarbiyah yang diberikan kepadanya.’[4]

Ibnu Jauzi mengatakan, bahwa jiwa memiliki potensi baik dan buruk. Ia berpotensi taqwa (baik) jika selalu mensucikannya dari segala hal yang mengotorinya, dan memperbanyak melakukan ketaatan, amal shalih, serta menjauhkan diri dari segala dosa dan maksiat. Lebih lanjut ia berkata: ‘Sungguh sangat beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dengan ketaatan kepada Allah dan beramal shalih, serta memperbaikinya dan membersihkannya dari segala dosa.’[5]

Imam Nawawi menambahkan, bahwa untuk menggapai jiwa yang bersih (nafs thahirah), diperlukan usaha untuk senantiasa memperbaikinya dan menjaganya dari segala hal yang akan merusaknya. Lebih jelasnya imam Nawawi berkata: ‘Bahwa mendidik jiwa merupakan suatu usaha untuk memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.’[6]

Jiwa yang sempurna akan melahirkan sikap ridha terhadap ketetapan Allah yang diberlakukan untuk dirinya, sehingga jiwanya akan selalu dihiasi ketenangan dan dijauhkan dari segala bentuk kegelisahan. Tidak hanya itu, jiwa yang sempurna juga akan menjadikan seseorang lebih qana’ah, menerima apa adanya dari segala pemberian Allah, dan mensyukurinya dengan menggunakannya dalam bentuk amal shalih. Menurut Ibnu Jauzi, pada akhirnya jiwa sempurna ini, akan menjadi jiwa yang ridha dan diridhai oleh Allah, yang kelak akan dipanggil untuk menghadap Allah dengan panggilan yang mulia, dengan balasan surga dan masuk dalam kategori hamba-Nya yang pilihan.[7] Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Fajr [89] ayat 27-30, yang artinya:

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Wallahu’alam.

Hj. Rita Indahyati, SE

Ketua Departemen Pendidikan PP Salimah

  1. Alim, Akhmad, 2014, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press.
  2. Helmawati, 2014, Pendidikan Keluarga: Teoritis dan Praktis, Bandung:
  3. Remaja Rosdakarya.
  4. Langgulung, Hasan, 2004, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa

Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, Cet.

Kelima (Edisi Revisi),

  1. Marzuki, 2015, Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah.
  2. Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009, Landasan Psikologi Proses

pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Kelima.

[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009, cet. Kelima, hlm. 164.

[2] Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004, Cet. Kelima (Edisi Revisi), hlm. 299.

 [3] Helmawati, Pendidikan Keluarga: Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 138.

[4] Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah, 2015, hlm. 76-77.

[5] Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014, hlm. 167.

[6] Ibid.

[7] Ibid, hlm. 171.