LALAI NIKMAT  

by -1503 Views

1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Seluruh yang ada di alam ini adalah kenikmatan yang bisa dinikmati oleh siapapun yang mau dan bersedia menikmati. Karena nikmat itu terbuka luas, lebar dan leluasa. Asal nikmat itu bebas dan cuma-cuma bagi manusia. Namun menjadi terbatas, saat jumlah manusia terus bertambah, eksploitasi meningkat, klaim kepemilikan sampai akal-akalan diantara manusia. Kemudian menjadi nikmat yang dibatasi dan perlu dibiayai untuk bisa menikmati.

Sepanjang matahari bersinar mengawali pagi hari, bintang dan bulan menerangi malam yang gelap gulita. Seluruh yang terdapat di alam semesta, mulai dari pepohonan, bebatuan, bukit dan pegunungan,  serba-serbi hiasan dan perhiasan, emas dan perak, pernak-pernik mutiara, binatang dan hewan melata hingga ikan di lautan adalah nikmat yang terbentang.

Betapa Al Kholiq begitu memuliakan dan memberikan keutamaan pada makhluk, keturunan Adam dan Hawa (QS. Al Isra’ : 70). Tidak ada mahluk yang menyanggupi untuk memikul amanah-Nya kecuali manusia. Namun betapa keluguan, kelalaian dan kejahilan manusia menjadi penyebab sombong dan terlupa untuk membaca ayat-ayatNya yang tersebar di udara, lautan dan daratan.

Tanpa bisa dihitung kuantitas apalagi kualitasnya, ternyata anugerah nikmat itu begitu melimpah pada manusia. Menganggap  ‘lumrah, wajar dan biasa saja’ yang seringkali menjebak manusia pada kelalaian akan nikmat yang begitu banyak, cenderung menutupi hati dari bersyukur kepada Allah Ta’ala, Dzat Yang Maha Menyiapkan kebutuhan hidup ini dan menjaga keberlangsungannya.

Seringkali manusia baru merasakan nikmat mata bisa melihat, saat sakit mata, berkurangnya ketajaman pandangan mata, mulai dari minus, plus, positif sampai rabun dan katarak. Betapa nikmat indra penciuman baru terasa nikmatnya dikala hidung ini tersumbat, tersakiti atau terluka. Begitu halnya nikmat pendengaran baru bisa disyukuri, tatkala gendang telinga sakit, tersumbat air atau kotoran dan berkurang pendengaran. Tentu terlambat mensyukuri, jika menunggu hal ini terjadi.

Kisah seorang ahli ibadah yang hendak masuk surga dengan ibadahnya, ternyata hitungan cepat malaikat Allah Ta’ala menunjukkan hasil timbangan amal tersebut tidak bisa mengimbangi satu saja dari kenikmatan yang diberikan-Nya, saat mata dapat melihat di kehidupan dunia fana. Apatah lagi dengan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya, tak disangka, tak diperhitungkan membuat manusia acap melupakan dan melalaikannya.

Fabiayyi aalaai Rabbikuma tukadz-dzibaan” Artinya “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?.” Ayat yang diulang sebanyak 31 kali dalam Surah Arrahman itu setara dengan 40 persen pesan dalam surah tersebut.  Pengulangan yang berulang-ulang dan terletak di satu surah, sungguh menghendaki perhatian bagi siapapun yang acapkali lalai akan nikmat-Nya,  sehingga jauh dari sifat, sikap dan perilaku kesyukuran.

Betapa sangat sedikit jumlah manusia yang mensyukuri nikmat yang berserakan di bumi ini (QS. Saba’: 13). Padahal nikmat ini akan menjadi abadi bahkan terus bertambah, saat manusia pandai mensyukuri.  Syukur itulah pengikat nikmat agar langgeng dan lestari. Sebaliknya saat kita kufur, maka nikmat itu akan menjadi hilang, berkurang, tidak terasa, bahkan menjadi lenyap.

Kenikmatan akan terasa nikmat, saat direnungkan dan diresapi keberadaannya. Memanfaatkan nikmat untuk kebaikan sebagai manifestasi keimanan terhadap Arrahman. Melipatgandakan nikmat dengan berbagi terhadap sesama dan mahluk lainnya.  Betapa nikmat dalam kebersamaan dan menikmati kebersamaan adalah anugerah nikmat yang penuh kenangan dan tak mudah dilupakan

Padahal manusia menghendaki agar kenikmatan tersebut terus membersamainya, tak ada yang secara sadar ingin melepaskan nikmat itu dari dirinya. Justru kejahilan dan kelalaiannya mengakibatkan nikmat itu berkurang dan menjauh darinya. Tak menyadari dan tak mengenali siapa Dzat Pemberi nikmat sesungguhnya. Sehingga menyebabkannya tidak tahu bagaimana menyikapi nikmat itu sesuai kehendak Dzat Yang Maha Pemberi dan tidak mampu mensyukuri.

Mensyukuri nikmat berarti mengenali Dzat Yang Maha Pengasih. Demikianlah nikmat iman dan islam menjadi yang terbaik.  Mengenali Allah berarti mengenali apa yang diinginkanNya dan bagaimana mensyukurinya. Tentu ada parameter yang telah dibuat-Nya, agar sikap dan perbuatan manusia sesuai dengan Kehendak-Nya. Demikianlah Ia menurunkan Al Qur’an  dan mengajarkannya kepada manusia (QS. Arrahman : 2). Akan menjadi patut nikmat itu terus membersamai manusia yang beriman dan beramal sholih, karena demikianlah ajaran yang dituntut pada diri kita.

Siti Faizah

Ketua Umum PP Salimah