Pesan Al-Qur’an tentang makanan Yahudi dan Nasrani

by -16601 Views

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab halal bagi kalian dan makanan (sembelihan) kalian halal bagi mereka.” (al-Ma’idah [5] : 5)

Makanan dalam Islam, selain berfungsi secara lahiriah memperkuat dan menyehatkan tubuh, juga memberi pengaruh pada kesehatan batin atau mental. Dalam arti untuk kepentingan moral dan perilaku seseorang. Makanan yang baik berpengaruh baik bagi seseorang dan sebaliknya makanan yang buruk berpengaruh buruk pula pada jiwa seseorang. Maka petunjuk Al-Qur’an tentang persoalan makanan sangat jelas dan tegas, namun bersifat global, “(Rasul) menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik (thayyibat) dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khaba’its).” (al-A’raf : 157). Dalam ayat lain disebutkan, “Mereka bertanya kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.” (al-Maidah : 4). Mufassir Syaikh as-Sa’di menjelaskan tentang ayat ini, “Maksud ayat ini mencakup segala jenis makanan dan minuman. Setiap makanan yang tidak mengadung khabits (buruk) berarti baik dan halal.” Petunjuk Al-Qur’an tentang makanan sejatinya dalam rangka menghindarkan manusia dari keburukan lahir dan batin, yang berdampak pada kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat. Ayat ini juga merupakan pengulangan untuk penguatan tentang halal yang baik (thayyibat) seperti disebutkan ayat sebelumnya, hanya di ayat ini ditambah dengan pernyataan halalnya sembelihan Ahli Kitab. Karena itu dapat dikatakan inti dari ayat di atas adalah seputar hukum makanan atau sembelihan Ahli Kitab.

Persoalan makanan yang banyak menimbulkan perbedaan pendapat para ulama adalah persoalan makanan dari jenis hewani. Pasalnya, secara global makanan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu kategori nabati (non-hewani), berupa biji-bijian, buah-buahan, dan sebagainnya; dan kategori hewani. Jenis yang pertama seluruhnya halal kecuali yang mendatangkan mudharat dan tidak bermanfaat. Jenis yang kedua meliputi jenis hewan air (biasanya hanya hidup di air) dan hewan darat (biasanya hanya hidup di darat). Hewan air secara prinsip seluruhnya halal, demikian juga binatang darat hukum asalnya adalah halal, kecuali yang dinyatakan haram berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Hewan-hewan yang halal dimakan harus melalui penyembelihan atau perburuan dengan persyaratan yang telah diatur dalam syariat, kecuali hewan tertentu yang halal dimakan tanpa melalui proses penyembelihan, seperti belalang, ikan serta binatang air lainnya. Di antara syarat sahnya sembelihan adalah penyembelihnya haruslah seorang muslim atau Ahli Kitab seperti yang ditegaskan surah al-Ma’idah ayat kelima. Maka ayat kunci di atas menjadi referensi tentang makanan hewani yang harus disembelih. Demikian mayoritas mufasir, seperti Ibnu Katsir, asy-Syaukani, al-Qurthubi, Ibnu Asyur dan lainnya memahami makanan yang dimaksud ayat tersebut adalah hewan sembelihan, meskipun secara bahasa, kata tha’am yang disebutkan ayat merujuk kepada segala yang dikonsumsi atau dimakan. Karena selain hewan sembelihan, semua jenis makanan tidak ada persoalan, baik dari muslim atau non muslim. Namun para ulama tafsir justru memahami makanan dalam ayat ini adalah hewan yang disembelih min bab al-‘am urida bihil khusus (ungkapan umum, namun yang dimaksud adalah makna khusus). Imam asy-Syaukani dalam karya tafsirnya, Fathul Qadir memahami ayat ini secara korelatif dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu sebagai penjelasan apa yang dihalalkan setelah sebelumnya menjelaskan tentang yang diharamkan Allah.

Hewan sembelihan yang dimaksud ayat di atas adalah hewan darat yang halal dan melalui proses penyembelihan dengan memotong jalan makan, jalan nafas beserta dua urat leher atau salah satunya. Terkait dengan penyembelihan yang diatur syariat, terdapat tiga hal penting yang mempengaruhi kehalalan binatang sembelihan; yang pertama penyembelih, kedua, hewan yang disembelih, dan ketiga, syarat dan cara penyembelihan. Penyembelih tidak banyak persyaratan yang dikenakan kecuali harus dilakukan oleh seorang muslim atau Ahli Kitab, dan kategori hewan yang disembelih tentu hewan yang dihalalkan oleh syariat. Sedangkan yang banyak menentukan kehalalan adalah syarat atau cara penyembelihannya.

Oleh karena itu, persyaratan pada sembelihan Ahli Kitab sama dengan syarat-syarat penyembelihan yang disyaratkan pada sembelihan seorang muslim. Demikian pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama) berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menyebutkan syarat-syarat penyembelihan yang mencakupi sembelihan kaum muslimin dan Ahli Kitab. Kehalalan hewan sembelihan Ahli Kitab menurut Imam as-Sa’di mengacu kepada fakta bahwa Ahli Kitab memiliki Rasul dan Kitab, dan seluruh Rasul sepakat mengharamkan hewan yang disembelih untuk selain Allah, karena termasuk syirik yang diharamkan. Demikian syarat agar sembelihan mereka (Ahli Kitab) halal bagi orang yang beriman.

Persoalan sembelihan yang masih menjadi perdebatan hangat juga adalah sembelihan Ahli Kitab seperti yang dinyatakan ayat di atas, bahwa sembelihan mereka sama kedudukan hukumnya dengan sembelihan seorang muslim, yaitu halal. Lantas siapakah yang dimaksud dengan Ahli Kitab yang menjadi pengikat ayat di atas? Jumhur ulama memahami ayat tersebut bermakna umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil ataupun yang lainnya, dan baik yang mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah, maupun mereka yang mengikuti ajaran yang telah mengalami perubahan, semuanya masuk dalam kategori Ahli Kitab tanpa pengecualian. Tentu hewan sembelihan yang dimaksud menurut imam al-Qurthubi adalah hewan yang dihalalkan syariat, bukan jenis hewan yang diharamkan. Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) antara lain oleh imam asy-Syaukani dalam Fathul Qadir dan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab tafsirnya, Taisirul Karim Ar- Rahman.

Argumentasi yang dijadikan pegangan para ulama tentang umumnya Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani di antaranya: pertama, ayat kelima surah al-Ma’idah bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk kelompok tertentu dari kalangan Ahli Kitab, seperti Bani Isra’il dan sebagainya. Kedua, dalam ayat ini Allah menghalalkan sembelihan Ahli Kitab dan wanita merdeka yang menjaga kehormatannya dari kalangan mereka. Padahal Allah juga menerangkan tentang kesyirikan dan kekufuran mereka sebagaimana yang tersebut dalam surah al-Maidah ayat 72-73 dan surah at-Taubah ayat 30, tepatnya ketika kaum Nasrani mengakui Nabi Isa adalah anak Allah dan tuhan mereka, sedangkan kaum Yahudi juga mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. Ketiga, dalam hadits Abu Sufyan yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah pernah mengirim surat kepada Heraklius –penguasa Romawi saat itu– mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam, seperti dinyatakan dalam surah Ali Imran ayat 64. Hal ini berarti bahwa Rasulullah pun menggolongkan Heraklius dan kaumnya sebagai Ahli Kitab. Padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil, dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, vol.1, hlm.38-39)

Dalam konteks ini, jika makanan itu produk impor dari sembelihan Ahli Kitab, maka hukum asalnya adalah halal. Kecuali jika diketahui dengan pasti (bukan sekadar praduga) bahwa hewan itu disembelih tanpa terpenuhi salah satu dari syarat-syarat penyembelihan yang dibenarkan syariat, meskipun tanpa menyebut nama Allah (mengucap Basmalah). Sebab kebanyakan ulama tidak menjadikan penyebutan nama Allah sebagai syarat syahnya penyembelihan. Bahkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayat kelima surah al-Ma’idah justru menjadi takhsis (pengecualian) bagi ayat 121 surah al-An’am yang mengharamkan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Kecuali hewan yang ketika disembelih diniatkan untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh atau sesembahan lainnya. Sehingga kehalalan atau keharaman makanan tidak diukur dari siapa yang memberikan, melainkan dari dua kriteria yang sudah permanen; pertama, dari cara mendapatkannya, dan kedua, dari zatnya. Suatu makanan dapat menjadi haram untuk dimakan jika didapatkan dari cara yang tidak halal, seperti makanan yang dibeli dari uang hasil mencuri, korupsi, manipulasi, memeras, riba, berzina dan seterusnya. Sedangkan keharaman yang ditinjau dari zatnya perlu dirujuk kepada jenis atau kriteria yang disebutkan Al-Quran maupun as-Sunnah.

Di antara yang menarik dari redaksi ayat di atas, bahwa sembelihan orang Islam pun adalah halal bagi Ahli Kitab. Padahal ayat ini ditujukan bagi orang beriman, sedangkan Ahli Kitab memiliki hukum tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan hukum yang ditentukan untuk orang beriman. Menurut Ibnu Athiyah, penjelasan ini justru menjadi rukhshah bagi orang yang beriman, bukan untuk Ahli Kitab, karena pensyariatan sembelihan juga berlaku untuk selain muslim sehingga kedua belah pihak terpelihara dari hewan yang tidak disembelih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pandangan Sayyid ath-Thanthawi, penyebutan kehalalalan sembelihan orang beriman adalah untuk membedakan dengan hukum pernikahan yang hanya berlaku bagi laki-laki muslim, tidak bagi wanita muslimah. Hal ini juga berarti bahwa uang hasil penjualan hewan sembelihan kepada non muslim merupakan harta yang halal, karena sebelumnya sebagian sahabat merasa khawatir dari keuntungan hasil penjualan daging hewan kepada non muslim. Ibnu Asyur menambahkan bahwa kehalalan dari dua belah pihak; muslim dan ahli kitab karena keduanya sering berinteraksi dalam kehidupan sosial mereka, sehingga merupakan rukhshah atau keringanan bagi keduanya dan memudahkan untuk terjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik diantara keduanya. Inilah di antara hikmah dari kehalalan sembelihan Ahli Kitab dan sebaliknya.

Rincian detail tentang persoalan makanan yang diisyaratkan secara global oleh surah al-Ma’idah ayat 5 ini dapat dirujuk ke tafsir Al-Jami li Ahkamil Qur’an, karya Imam al-Qurthubi. Padanya disebutkan rincian hukum seputar persoalan ayat ini hingga delapan pembahasan yang sangat komprehensif. Sehingga banyak yang menyatakan, bahwa pandangan Imam al-Qurthubi tentang makanan orang-orang Yahudi dan Nasrani berdasarkan surah al-Ma’idah ayat 5 lebih lengkap dan patut dijadikan referensi dibanding dengan kitab tafsir lainnya.

Atabik Luthfi dari buku Tafsir Irsyadi (RA)