Bila Anak Kecanduan TV dan Game

by -11336 Views

Hampir setiap kali saya berbicara dalam seminar atau diskusi mengenai media, saya selalu ditanya oleh pertanyaan yang sama.Bagaimana menarik anak-anak dari TV dan game bila anak-anak sudah kecanduan menonton TV dan bermain game?

Di antara berbagai media, televisi dan game tidak diragukan lagi adalah yang paling potensial menarik perhatian anak-anak. Dua media ini dapat menggenggam anak-anak. Karena itu tidak mengherankan bila banyak anak tergila-gila pada TV dan game. Mereka terus-menerus ingin menonton TV atau bermain game.

Kuncinya: Kontrol

Biasanya, kecanduan anak akan TV dan game disebabkan oleh lemahnya kontrol oleh orangtua dalam hal penggunaan TV dan game. Kontrol adalah kata kuncinya. Sejak awal, jika orangtua tidak mengatur waktu menonton TV dan bermain videogame, ya sudahlah, umumnya anak akan kecanduan TV dan game!

Itulah sebabnya, untuk mengembalikan anak agar tidak lagi terus-terusan menonton TV dan bermain game, yang harus dilakukan orangtua adalah kembali ke kata kunci tersebut: kontrol.

Untuk ini tidak hanya diperlukan kesadaran orangtua untuk melihat bahwa ada masalah yang timbul melihat anaknya terus menerus menonton TV atau bermain game, tetapi juga tekad untuk mengubah hal tersebut. Dan tekad ini tidak perlu diwujudkan dengan cara radikal, tetapi dengan halus dan perlahan.

Mengubah secara radikal atau tiba-tiba kebiasaan anak untuk mengkonsumsi TV dan game bisa-bisa menjadikan kedua pihak (orangtua dan anak) frustrasi. Misalnya, dengan tiba-tiba mengurangi waktu menonton TV atau bermain game atau bahkan melarangnya sama sekali. Akibatnya, anak mungkin sekali akan marah karena kebiasaannya yang selama ini sudah berjalan dengan baik dihambat. Sementara orangtua akan jengkel jika anak menolak untuk taat. Konflik pun bisa muncul.

Anak yang kesal bisa jadi akan mencari celah lain untuk tetap melanjutkan kebiasaannya. Jika di rumah dilarang, ia bisa saja pergi ke rumah teman atau tetangga untuk menonton TV atau bermain game. Kalau begini, kontrol orangtua pun makin lemah, karena orangtua menjadi makin tak tahu apa yang dikonsumsi anak melalui layar.

Cara Halus dan Perlahan

Menurut saya, untuk mengubah kebiasaan anak lebih tepat dilakukan cara yang lebih halus tidak kentara, dan perlahan.

Orangtua tidak perlu menguliahi anak tentang perlunya mengurangi jam menonton TV atau bermain game. Tidak usah bicara (karena kemungkinan besar akan ditolak anak), tetapi orangtua sebaiknya langsung bertindak.

Karena TV dan game sangat bisa merebut perhatian anak-anak, yang harus adalah mencari tandingan untuk mengalihkan anak anak dari TV dan game. Namanya saja tandingan maka harus dicari kegiatan yang sama (kalau bisa bahkan lebih) menariknya bagi anak-anak sehingga anak mau beralih dari TV dan game

Memang diperlukan kreativitas orangtua untuk mencari kegiatan alternatif ini. Sebagai langkah permulaan, memberikan anak-anak film-film VCD atau DVD yang sehat adalah salah satu alternatif yang bagus. Ketimbang menonton TV yang isinya banyak sekali yang tidak sehat bagi anak atau bermain game (terutama game kekerasan), menonton film VCD atau DVD sehat adalah sebuah hiburan yang mendidik bagi anak.

Buatlah suasana menonton ini menyenangkan bagi anak. Sebaiknya anak-anak didampingi sehingga moment menonton film ini pun dapat menjadi ajang kumpul keluarga yang menggembirakan dan membetahkan anak akan membuatnya lupa akan acara TV favoritnya atau game kesukaannya!)

Kegiatan-kegiatan lain yang dapat dilakukan banyak sekali: mengajak anak memasak (anak-anak umumnya amat suka memasak), bermain,berkebun, jalan-jalan di lingkungan rumah membuat prakarya, menggambar atau mewarnai atau memperdengarkan dongeng. Dalam hal ini memang diperlukan keterlibatan orangtua penuh.

Tidak cukup misalnya hanya menyuruh anak bermain, tetapi orangtua juga harus mau capek ikut bermain dengan anaknya. Tidak cukup memberibuku menggambar dan penswarna, tetap orangtua ikut mendampingi (atau bahkan ikut serta)menggambar atau mewarnai. Tidak cukup hanya memberi kertas, gunting dan lem untuk membuat prakarya, tetapi orangtua pun harus ikut menunjukkan caranya dan bersama-sama anak. berkreasi bersama. Tidak cukup menyuruh anak membaca buku dongeng, tetapi orangtualah yang sambil memeluk anak.

Pendeknya, anak jangan dibiarkan sendiri Anak harus tahu bahwa orangtua juga senasib sepenanggungan” dengannya.

Pada saatnya kelak, anak akan belajar mandiri. Ia tahu untuk menemukan kegiatan-kegiatan ain sendiri tanpa perlu dituntun oleh orangtua Nanti ia akan memilih untuk bermain sendiri, untuk membaca buku dongeng sendiri, untuk menggambar sendiri, dst. Anak pun pelan-pelan akan “lepas” dari TV dan game

Maka akan Terbentuk Pola

Jika kegiatan alternatif yang dilakukan anak selain menonton TV dan bermain game sudah banyak dilakukan dengan sendirinya waktu konsumsi anak akan TV dan game terkurangi. Pada saat yang sama akan mulai terbentuk pola yang lebih sehat dalam mengkonsumsi TV dan game

Pada saat inilah orangtua dapat berbicara dengan anak-anak mengenai bagaimanaseharusnya sikap terhadap TV dan game. Dengan menyenangkan orangtua dapat cara yang berbicara dengan anak tentang perlunya waktu mengurangi menonton TV dan bermain game acara TV apa yang boleh dan tidak boleh ditonton (dan mengapa), game apa yang sebaiknya tidak dimainkan (dan mengapa), dan lain-lain

Berbicara dengan anak pada saat seperti ini (apalagi dilakukan dengan lembut danmenyenangkan) berpotensi tidak akan ditentang anak, karena anak sudah tidak menjadikan menonton TV atau bermain game sebagai kegiatan utama yang dapat dilakukannya di rumah. Anak sudah merasakan bahwa ada banyak kegiatan lain yang dapat dilakukannya dan itu sama menariknya

Pada saat seperti inilah aturan mengenai TV dan game dapat dibuat dan ditegakkan bersama. Lagi lagi, jika disampaikan dengan cara yang lembut dan menyenangkan dan saatnya tepat, aturan ini akan diterima sebagai tidak mengekang anak

Menarik kembali anak-anak dari TV dan game berarti merebut anak kita kembali untuk masuk dalam kehidupan yang lebih sehat. Dan itu adalah kewaiiban kita sebagai orangtua (Nina.A).

Sumber : Majalah Ummi (Iin)