Kartini Menulis

by -13760 Views

 

Seratus tiga puluh delapan tahun berlalu, setiap tanggal dua puluh satu April memperingati hari lahir Ibu Raden Adjeng Kartini. Sosoknya yang memukau, terbayang di benak dan sanubari masyarakat Indonesia dan mereka yang mengenalnya sebagai pejuang dari kalangan perempuan. Ia berpikir cerdas dan mawas, menentang adat kebiasaan untuk sebuah upaya perbaikan bagi sesama di masa mendatang. Ia enggan mengikuti ajakan westernisasi dan kristenisasi.

Usia Kartini singkat, dua puluh lima tahun. Namun ia menyejarah lewat tulisan tangannya, mengungkap gagasan dan citanya yang merindukan perubahan dan kemajuan, hatta bisa dibaca sepanjang masa. Dari surat demi surat, tersirat impian besarnya akan persamaan perlakuan pada seluruh perempuan tanpa terkecuali dimanapun. Ia sendiri menapaki hidup yang lebih baik dari perempuan di masanya. Berasal dari suku Jawa, isteri Bupati yang saat itu lebih beruntung daripada perempuan Indonesia lainnya. Karenanya, ia menjadi pelopor perjuangan dalam mencerdaskan anak bangsa.

Ia lahir dari keluarga ningrat yang saat itu mendapatkan perlakuan istimewa dari penjajah Belanda. Ia bisa bersekolah sehingga bisa menulis. Tapi ia tidak hanya berpikir kepentingan diri semata, tetap memikirkan nasib perempuan lainnya, maka ia berjuang menyuarakan isi hatinya. Ia menorehkan buah pikiran, pilu dan sedih hatinya antara lain kepada Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan dan Agama yang memerintah saat itu, Ny.Abendanon, Nn.Stella, Ny.Marie dan lainnya. Ia sampaikan aspirasi lewat surat dan tulisan singkat tapi sarat maknanya.

Sosok muslimah pada Kartini nampak melalui tulisannya seperti dikutip Buku Api Sejarah, “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang agama kami, Islam patut disukai.” 21 Juli 1922

Kartini berjuang melalui tulisan, dipaksa oleh kondisi saat banyak para pejuang diminta membungkam. Tak ada panggung yang tersedia bagi pejuang di masa itu. Untuk melanggengkan penjajahan, Pemerintah di bawah Hindia Belanda menghendaki kesengsaraan, kemiskinan dan kebodohan tetap lestari pada penduduk asli berkebangsaan Indonesia.

Kerinduan Kartini akan perubahan dan keluar dari penjajahan semakin membuncah, tatkala ia pelajari makna Al Qur’an, hadiah pernikahan special dari Pamannya, Kyai Soleh, ia pun menulis, “Alangkah bebalnya, bodohnya kami tiada melihat, tiada tahu bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Al Qur’an) di samping kami.”

Kami tidak mengetahui, apakah Kartini sudah selesai membaca terjemahan tiga belas juz ayat Al Qur’an yang berhasil diterjemahkan oleh Pamanda sebelum wafatnya. Namun setidaknya ia memahami dan semakin menguat perjuangannya, mendapatkan inspirasi saat membaca ayat terpanjang dalam surat terpanjang, “Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan..” (Al Baqarah : 282)

Ayat pertama yang turun kepada Muhammad SAW memerintahkan membaca. Dibalik perintah ‘iqro’, tersirat perintah untuk menulis. Dari membaca bisa menulis dan tulisan menjadi bahan untuk membaca. Sungguh, Kartini telah berjuang untuk mencerdaskan kaum perempuan agar generasi bangsa mampu membaca dan menulis. Dan ia telah membuktikan perjuangan pada masanya dengan sarana menulis.

Siti Faizah

(Ketua Umum PP Salimah 2015-2020)

– RA