Jangan Mengulang Kesalahan

by -1900 Views

 

Sudah menjadi bagian dari sejarah kelam dan sangat tragis totalitas penghancuran Kaum Sadum di Yordania dan sekitarnya, meliputi Amurah dan tiga kota lainnya melalui gempa dan letusan berapi, dihujani batu dari tanah yang terbakar dan menenggelamkan negeri mereka. Menjungkirbalikkan bagian atas bumi menjadi di bagian bawah. Mereka diketahui sebagai kaum Nabi Luth ‘alaihissalam. Utusan Allah yang notabene keponakan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah mengajak kaum di negeri el Ghur, berdekatan dengan Gunung Baitul Maqdis, sejajar dengan negeri dan Gunung el Kark dan Syaubak, bertetangga dengan laut mati tersebut, agar tidak berbuat keji dengan melakukan perkawinan sesama jenis (homoseksual).

    Perbuatan yang sangat dibenci oleh Nabi Luth ‘Alaihissalam tengah menimpa umat Muhammad SAW. Saat hidup, Beliau SAW pernah mewanti-wanti umat melalui sabdanya, bahwa “perbuatan yang paling ditakuti menimpa umatnya adalah berbuat seperti perbuatan Kaum Luth,” (HR. Ibnu Majah, Attirmidzi). kekhawatiran Nabi SAW didasari oleh akibat serta kengerian dan beratnya azab atas kaum tersebut di dunia dan di hari kiamat. Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah SAW menekankan kekhawatirannya tersebut dengan sabda, “Allah Ta’ala melaknati seseorang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” (HR. Annasai).  

Begitu kotor, jijik dan dibenci perbuatan sodomi, Al Qur’an menyebut perilaku mereka  setidaknya dengan delapan sebutan. Pertama, Qoumun ‘Aadun, kaum yang melampaui batas dalam kezaliman dan dalam semua maksiat, baik secara syari’at, akal maupun fitrah yang murni dari hal yang halal menuju hal yang haram (Qs. Asy Syuara’: 166). Kedua, Qoumun Tajhalun, melakukan perbuatan orang yang tidak mengetahui kekejian perbuatannya, tidak bisa membedakan antara perbuatan baik dan buruk (Qs. Annaml: 55). Ketiga, Qoumil Mufsidin, orang yang berbuat kerusakan, berbuat maksiat dengan mendatangi laki-laki atau dengan berbuat keji (Qs.Al Ankabut: 30). Keempat, Qouma Sau’in Fasiqin, orang yang jelek dan buruk, keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala dan berbuat kemaksiatan (Qs. Al Anbiya: 74). Kelima, Qoumun Musrifun, berlebihan dalam melampiaskan syahwat, melampaui batas kebiasaan kepada yang tidak biasa, melampaui yang halal menuju yang haram (Qs. Al A’raaf : 81). Keenam, Mujrimin, orang-orang yang berbuat dosa (Qs. Al A’raaf: 84). Ketujuh, Zholimin, kaum yang menzolimi diri mereka karena kekufuran dan pendustaan kepada Utusan Allah, terus-menerus dalam kerusakan dan kekejian (Qs.Al Ankabut:31). Kedelapan, Yafsuqun, orang yang berbuat fasik (Qs. Al Ankabut: 34)   

Perbuatan terkeji Kaum Sodom memenuhi enam kriteria keburukan. Dalam Surah Al Ankabut ayat 28 disebutkan ata’tunal fahisyah, perbuatan buruk yang dijauhi oleh jiwa-jiwa yang mulia, dengan mendatangi dubur laki-laki. Dimana tabiat manusia yang lurus akan merasa jijik. Mereka adalah kaum yang pertama berbuat sodomi di muka bumi. Kedua, lata’tunarrijal yakni celaan yang paling keras, karena menunjukkan kelainan yang tidak diterima oleh hewan sekalipun, yakni mendatangi laki-laki dengan syahwat seperti mendatangi perempuan. Ketiga, taqtho’unassabil, memotong jalan untuk orang yang lewat dengan cara melempari pengguna jalan dengan kerikil, menarik pungutan liar, mengolok-olok, bahkan membunuh, mengambil harta atau berbuat keji sehingga jalan-jalan menjadi terputus. Keempat, ta’tuuna fii naadiikumul munkar, yakni berakhlak buruk dengan mengucapkan perkataan dan melakukan perbuatan yang tidak pantas di ruang pertemuan secara terbuka tanpa ada yang mengingkari, melakukan perkara yang bertentangan dengan syara’, jauh dari tabiat manusia yang lurus dan berbagai macam perbuatan keji.

Dalam Surat Al Anbiya ayat 74, perbuatan kaum Sodom dimasukkan dalam kategori ta’malul khobaits, perbuatan kotor dan menjijikkan berupa hubungan sesama jenis. Sedangkan Surat Huud ayat 78 memasukkan perbuatan mereka dalam bentuk ya’maluunassayyiat, perbuatan yang sangat keji. Sebab pada tubuh laki-laki tidak ada kekuatan penyerap sperma, darah menjadi teracuni dan menimbulkan resiko yang sangat fatal dan diantara penyebab kematian.

Dalam menghadapi kaumnya, Nabi Luth ‘alaihissalam mencoba berbagai strategi dakwah untuk mengingatkan kaumnya agar kembali kepada perbuatan yang sesuai fitrah dan bertaubat. Beliau menyatakan sikap tegas, dengan berkata “Aku sungguh benci kepada perbuatanmu” (Qs. Asy-syuara: 168). Yakni membenci perbuatan yang menyebabkan kebencian hingga dibenci oleh manusia. Ia menawarkan jalan keluar kepada kaumnya, dengan menikahi perempuan sebagai perbuatan yang lebih suci dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala (Qs. Huud. 78)

Dalam kondisi demikian, Luth ‘alaihissalam mendapatkan ancaman, cemoohan, cacian, pengucilan bahkan pengusiran dari kaumnya. Seakan tanpa henti menyadarkan kaumnya, seraya memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala agar dirinya dan keluarganya terlindungi dan terselamatkan dari perbuatan keji mereka. Beliau berdo’a, “Rabbi Najjini waahli mimma ya’malun,” Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan” (Qs. Asy Syuara: 169). Memohon keselamatan dari hukuman atas perbuatan maksiat tersebut dan terhindar dari akibat amalan mereka. Do’a tersebut menyebabkan datangnya pertolongan Allah dan keselamatan atas Nabi Luth dan kedua puterinya.

Hal lain yang bisa menjauhkan diri dan keluarga dari virus LGBT, dalam diri seseorang tidak boleh rela dengan keburukan atas perbuatan mereka, mengingatkan sesama agar menghindari dan menjauhi perbuatan keji tersebut, mengajak pelaku dan objek pelaku kembali kepada fitrahnya, mengupayakan terapi kesembuhan bagi mereka, mendukung dan mengawal RUU KUHP Pasal 484, Pasal 423 dan pasal 495 terkait pernikahan, LGBT, zina dan perkosaan. Serta menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tidak meniru sikap buruk sebagaimana isteri Nabi Luth yang dinilai turut mendukung, menyebarkan, membiarkan perbuatan terkeji kaumnya dengan ikut menceritakan dan membocorkan berita-berita tentang tamu-tamu mulia Nabi Luth kepada kaumnya. Na’udzu billah

 

Siti Faizah

(Ketua Umum Salimah, 2015-2020)

*Referensi : Tafsir Al Munir, Prof.Dr.Wahbah az Zuhaili