Memahamkan Nilai Ramadhan

by -467 Views


Ramadhan sebagai bulan suci. Didalamnya terdapat kewajiban yang hanya bisa dilaksanakan pada bulan tersebut, yakni berpuasa. Sebagai salah satu ibadah unggulan di Bulan Ramadhan yang wajib dilaksanakan setahun sekali. Sebulan penuh menurut perhitungan penanggalan Qomariyah. Supaya anak mampu menjalaninya pada saat akil baligh nanti, butuh pendidikan berkelanjutan agar anak memiliki pemahaman hakiki akan tujuan mulia berpuasa. Yakni meningkatkan ketakwaan secara vertikal dan horizontal pada setiap diri kepada Dzat Yang Mahapencipta, disamping meningkatkan nilai-nilai kebajikan dan kebaikan pada diri agar bermanfaat bagi umat manusia.
Diantara pemahaman yang perlu ditanamkan pada anak bahwa dalam berpuasa, seseorang tidak hanya dilarang makan, minum di siang hari, yakni sejak terbit fajar hingga terbenamnya. Nilai Ramadhan akan semakin berbobot, ketika larangan berbuat dosa dan maksiat bisa dihindari. Seperti berbohong, berselisih, berghibah, berburuk sangka, berkelahi, bertengkar, menghasut dan perbuatan buruk lainnya.
Nilai pendidikan akan sangat tepat jika diberikan sesuai dengan momentum. Dimana anak bisa langsung merasakan, menyaksikan bahkan mulai berlatih mempraktekkan. Orang tua bisa memanfaatkan momen tahunan sebagai sarana pendidikan bertahap. Jika pada umumnya anak mengalami akil baligh usia 10 tahun, setidaknya orang tua memiliki kesempatan memberikan pemahaman selama sembilan kali, sebelum tiba kewajiban syariat pada dirinya.
Menjadi penting bagi orang tua menanamkan pemahaman sejak dini kepada anak, bahkan semenjak Ramadhan pertama dalam kehidupan anak. Kesadaran tentang kehadiran Bulan Suci bisa diperkenalkan kepadanya. Peluang bagi ibu saat menggendong buah hati, menyusui dan merawatnya sebagai kesempatan emas mengajak anak bercerita, bercengkrama meski anak baru bisa mendengar. Dari pengertian dini akan muncul harapan orang tua pada anak, sambil memohon kepada Allah Ta’ala bahwa kelak sang anak akan diberikan kekuatan dalam menjalankan ibadah dengan kualitas yang lebih baik.
Untuk sampai pada kualitas menjalankan puasa di siang hari dan menegakkan ibadah di malam hari (shiyam dan qiyam), sebagaimana telah menjadi kebiasaan orang saleh sebelumnya. Orang tua sebagai contoh nyata bagi anak. Di tahun kedua, anak bisa diperkenalkan dengan suasana istimewa menjelang Ramadhan tiba. Menyiapkan buku dan tontotan tentang kisah menarik tentang Ramadhan, motivasi untuk meningkatkan ketaatan didalamnya, bukti keberkahan dan sebagainya.
Kesempatan ketiga, anak bisa diperkenalkan pemahaman tentang nilai dan manfaat berpuasa, keistimewaan Ramadhan, perintah Allah Ta’ala untuk berpuasa dan bagaimana tata caranya. Motivasi untuk berpuasa pada anak disertai hadiah yang bisa didapatkan dengan berpuasa. Mengajak anak makan sahur bersama keluarga agar memiliki energi untuk berlatih puasa. Disamping melatih anak bangun lebih dini.

Tiga tahun berlalu dan memasuki tahun keempat, ketika seorang anak bisa membedakan kanan dan kiri, anak mulai bisa diajak dan dilatih berpuasa. Sebagaimana Hadits Rasul Saw ketika seseorang bertanya tentang kapan anak bisa dilatih shalat, Nabi Saw menjawab, “jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya.” Dalam Hadits lain disebutkan, “Perintahkan anak-anak kalian untuk (melakukan) shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (ketika meninggalkan shalat) saat berumur sepuluh tahun. Dan pisahkan ranjang diantara mereka.” (HR. Abu Daud, 495 dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud)
Dalam pelaksanaannya, orang tua perlu memberikan motivasi dan perhatian khusus pada anak dalam menjalani masa-masa awal berpuasa. Biasanya anak bisa bertahan dalam lapar dan haus melalui proses latihan secara bertahap. Dengan pertambahan waktu (jam) setiap harinya sesuai kemampuan anak, hingga ia mampu menjalaninya secara penuh. Dalam kesempatan puasa hari pertama, orang tua mendampingi secara intensif di hari dan pekan pertama. Bahkan memberi penghargaan pada anak, apalagi jika sudah berhasil berpuasa satu hari penuh.
Dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang ke salah satu Suku Anshar di pagi hari Asyura.” Beliau bersabda, “Siapa yang di pagi hari dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia berpuasa. Siapa yang di pagi harinya berpuasa, hendaklah berpuasa.” Ar Rubayyi’ mengatakan, “Kami berpuasa setelah itu. Lalu anak-anak kami pun turut berpuasa. Kami sengaja membuatkan mereka mainan dari bulu. Jika salah seorang dari mereka menangis, merengek-rengek minta makan, kami memberi mainan padanya. Akhirnya pun mereka bisa turut berpuasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960 dan Muslim no. 1136)
Ketika Rasulullah SAW membiarkan para sahabat di masanya mengajak anak berlatih ikut berpuasa, maka hal ini menjadi bekal bagi orang tua untuk melakukan hal serupa. Dalam hal ini tetap perlu memperhatikan kemampuan seorang anak, lingkungan yang kondusif, karena mereka tetap belum berkewajiban menurut syariat, namun sebagai ajang melatih anak dalam menjalankannya supaya lebih siap ketika tiba kewajiban menjalankannya. Ketika pemahaman akan nilai Ramadhan telah tertanam pada diri anak, maka ia akan menjalani ibadah dengan suka rela, senang dan bahagia dalam menjalaninya. Seraya berharap kepada Allah Ta’ala peningkatan ketakwaan pada generasi di masa mendatang.

Siti Faizah Ketua Umum PP Salimah (Fdh)