Dalam mendorong ummatnya bekerja dan berusaha, Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam menekankan pentingnya berwirausaha. Beliau bersabda,
“Tiada seseorang yang makan makanan yang lebih baik, kecuali dari hasil usahanya sendiri. Dan Nabiyullah Dawud juga makan dari hasil tangannya sendiri”. (HR. Bukhari)
Suatu ketika seorang budak perempuan masuk menemui Muhammad bin Hasan Asy Syaibani seorang sahabat Imam Abu Hanifah. Dia berkata, “Tuanku, bahan makanan telah habis”. As Syaibani berkata, ‘”Semoga Allah membinasakanmu. Kau telah menghilangkan empatpuluh masalah dari kepalaku”.
Kisah di atas menggambarkan betapa beratnya problematika ekonomi dalam hidup manusia . Kesengsaraan dan kemiskinan seringkali membuat pemikiran dan akal sehat manusia kocar kacir. Banyak orang yang lemah iman terjerumus ke lembah nista karena faktor ekonomi…bahkan kemiskinan menyeret sebagian besar mereka pada kekufuran. Kejahatan dan kemaksiatan yang saat ini merajalela pada umumnya disebabkan karena faktor ekonomi. Karena itu terdapat korelasi yang sangat kuat antara dakwah dan ekonomi….. Masyarakat yang lapar akan sulit menerima dakwah, dan dakwah akan sulit terselenggara tanpa kekuatan ekonomi.
Di antara kekuatan penunjang dakwah adalah dukungan dana (da’mul maali). Sirah kehidupan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam sebagai penghulu dakwah telah menunjukkan peran besar ekonomi dalam dakwah. Nabi diangkat sebagai Rasul yang menerima wahyu dan mengajarkannya kepada masyarakat dalam usia 40 tahun. Dalam usia ini Nabi adalah seorang pedagang yang sukses, beliau telah mengembangkan perusahaan milik isteri beliau, Khadijah RA. Di masa remajanya beliau pernah ikut kafilah dagang sampai ke Syam. Setelah dewasa beliau menjalankan perdagangannya sampai ke Bahrain, Yaman, Jorasy, dan Habasyah. Nabi merupakan pedagang profesional yang sangat mengenal kota-kota di negeri yang beliau kunjungi.
Setelah diangkat sebagai Rasul, Muhammad dan istrinya: Khadijah banyak memberi dan berkorban…. Nabi memberikan waktunya secara penuh kepada dakwah, tabungan dari perdagangannya beliau gunakan untuk biaya dakwah. Kendati demikian, orang-orang pertama yang direkrut Nabi juga dari kalangan orang kaya semisal Abu Bakar As Shiddiq, Utsman bin Affan, Abdurrahmaan bin Auf, dan sebagainya. Karena itu dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabat beliau kegiatan ekonomilah yang membiayai dakwah, bukan kegiatan dakwah yang dijadikan sumber penghasilan membiayai para juru dakwahnya.
Para ulama salaf pun terkenal sangat memperhatikan ekonomi untuk menunjang kegiatan dakwah. Imam Abu Hanifah merupakan pedagang kain yang terkenal, demikian juga ulama lain seperti Abdullah bin Mubarok, Al Waroq (pedagang kertas) dan Ad Dzujaj (pedagang kaca). Bahkan para juru dakwah yang datang ke kepulauan Nusantara dahulu pun adalah para pedagang antar pulau dari Arab, Parsi, dan Gujarat. Mereka membawa kain dan peralatan rumah tangga ke Nusantara dan membawa rempah-rempah ke negeri asalnya……
Gerakan-gerakan dakwah Islam sepanjang sejarah sangat memperhatikan peningkatan dan pengembangan ekonomi. Sebab Al Qur-an telah menyatakan bahwa Jihad harus dibangun bil-amwal wal anfus.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. 49. Al Hujurat:15)
Mendahulukan penyebutan amwal dari anfus dalam ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya faktor dana bagi dakwah. Disebut bi-amwaalikum (dengan harta kamu) memberi dasar bahwa dakwah tidak boleh tergantung kepada orang atau pihak lain. Banyak pekerjaan dapat dilakukan muslim baik secara individu maupun bersama muslim lainnya dalam rangka membangun ekonomi dakwah. Allah memberikan rizkinya dengan aneka ragam cara. Dalam rangka menggiatkan hamba-hamba-Nya bekerja, Allah Ta’ala berfirman,
Dialah yang telah menjadikan bumi mudah digunakan untuk kepentinganmu… Maka berjalanlah ke seluruh penjurunya, dan makanlah dari rizki-nya dan kepada Allahlah tempat kembali. (Al Mulk: 15)
Rasul Allah Shollallahu Alaihi Wa Sallam pun mewajibkan kita mencari rizki Allah di bumi ini. Beliau sering mendorong sahabatnya untuk menekuni bidang pekerjaan tertentu. Misalnya dengan ungkapan,
“Setiap tanaman yang ditanam seorang muslim, apabila dimakan maka ia menjadi shodaqoh, apabila dicuri ia menjadi shodaqoh, apabila dimakan binatang buas maka ia menjadi shodaqoh, dan apabila dimakan burung maka dia menjadi shodaqoh, dan tidaklah seorang muslim mendapatkan bahaya melainkan hal itu menjadi shodaqoh”. (Al Hadits)
Bahkan, untuk memelihara optimisme kerja Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menyatakan,
“Jika kiamat datang, sementara di tangan salah seorang kamu ada biji palem, lalu dia mempunyai kesempatan untuk menanamkannya sebelum kiamat berlangsung, maka hendaklah ia tanamkan, dengan demikian ia akan mendapat pahala”. (HR. Bukhari)
Para sahabat Nabi sadar betul terhadap pengarahan Rasulullah ini. Di samping berda’wah dan berjihad menegakkan agama Allah, mereka bekerja keras untuk mencapai ridha Allah dalam berbagai bidang. Mereka tidak merasa pesimis dengan hasil kerjanya, karena meyakini bahwa semua itu ada nilai dan balasannya di sisi Allah.
Kendati demikian, bukan berarti mereka lalu melalaikan tugas selaku seorang muslim. Mereka tetap berda’wah dan berjihad di jalan Allah tanpa dilalaikan oleh berbagai pekerjaannya. Karena itu, Allah memuji mereka sebagai,
Lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah (berda’wah dan berjihad), mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka takut dengan suatu hari dimana di saat itu hati dan penglihatan manusia menjadi goncang. (An Nuur; 37)
Ekonomi Di Tengah Dakwah Kita
Bagi kebanyakan orang tidak ada suatu yang dapat merusak kondisi batin, menyibukkan pikiran, dan menyakitkan perasaan, selain keterhimpitan materi. Problema ini dapat mencekik rakyat dan menghalanginya dari memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari. Problema sembako (sembilan bahan pokok) telah menghiasi setiap sudut kota dan desa di Indonesia. Belum lagi masalah pengungsi di negri sendiri sebagaimana yang kita lihat di Maluku, Poso, NTT, Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lain….
Kehidupan ekonomi masyarakat kita yang tengah porak poranda merembet juga dalam kehidupan para juru dakwah. Dari waktu ke waktu hambatan ekonomi mulai terasa mengganggu dakwah mereka. Anak-anak juru dakwah yang telah sampai usia sekolah semakin banyak. Kebutuhan hidup rumahtangga yang semakin meningkat membuat pengeluaran menjadi lebih banyak daripada pemasukan. Sementara itu kebangkrutan ekonomi membuat lapangan kerja semakin sempit…. Tidak jarang juru dakwah yang mengandalkan dakwah untuk mencari maisyah (pencarian nafkah). Maka dakwah pun bagi sebagian orang merupakan sumber penghasilan. Sang dai tampil tidak ubahnya selebritis. Keberhasilan dari dakwah seperti ini tentu saja akan jauh dari harapan….. Sebab dakwah akan berhasil manakala dia tidak dijadikan alat untuk mencari maisyah.
Dakwah harus dibangun oleh kekuatan ekonomi ummat Islam sendiri. Sayangnya kaum muslimin belum banyak yang mempunyai kesadaran membangun ekonomi dakwah. Mereka baru tertarik untuk membangun masjid yang indah dan besar, sementara untuk memakmurkan isinya belum. Padahal memakmurkan masjid itu artinya membangun dan mengembangkan dakwah dan tarbiyah yang memerlukan dana besar karena menyangkut pendidikan sumber daya manusia. Masjid-masjid yang megah tetapi kosong dari kegiatan jamaah dan tidak menjadi sumber perubahan di tengah masyarakat tersebar dimana-mana.
Imam Syahid Hasan Al Banna menyatakan bahwa prinsip dari pembiayaan dakwah adalah “shunduquna juyubuna” (Sumber dana kita adalah kantong kita sendiri). Karena itu setiap al-akh hendaknya memiliki kemampuan ekonomi yang membuat dirinya tidak memerlukan bantuan ekonomi orang lain lagi untuk melaksanakan dakwahnya….
Dalam mendorong ummatnya bekerja dan berusaha, Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam menekankan pentingnya berwirausaha. Beliau bersabda,
“Tiada seseorang yang makan makanan yang lebih baik, kecuali dari hasil usahanya sendiri. Dan Nabiyullah Dawud juga makan dari hasil tangannya sendiri”. (HR. Bukhari)
Jelaslah bahwa wirausaha sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Imam Hasan Al Banna pernah berkata, “Sebaiknya anda melakukan kerja-kerja yang mendatangkan penghasilan, walaupun anda tergolong kaya. Anda mestilah mengutamakan kerja yang bebas, walaupun kecil. Sebaiknya anda menumpukan diri pada kerja wirausaha itu, sekalipun anda memiliki kemampuan ilmiah yang jauh lebih tinggi”.
Wira usaha memberi keuntungan lebih bagi seorang muslim. Sebagaimana diungkapkan oleh para ulama yang mukhlis, keuntungannya adalah,
1. Bersentuhan dengan banyak orang memungkinkan kita memetik banyak pengalaman kerja sekaligus bermuamalah secara islami dengan mereka.
2. Memberi manfaat langsung pada diri sendiri maupun keluarga. Dapat melibatkan keluarga dalam mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan itu.
3. Membentuk sikap berani dan memperbanyak pengalaman sehingga manakala terjadi kegoncangan ekonomi tetap dapat bertahan.
4. Memungkinkan mengembangkan potensi diri dengan meniti jenjang karir sesuai kemampuan yang dimiliki. Dimulai dari bekerja sendiri sampai menata orang lain untuk bekerjasama dalam bidang yang kita geluti. Mampu mengembangkan usaha yang menunjang apa yang telah dikerjakan.
5. Dapat melepaskan diri dari keterikatan pada kerja-kerja yang akan melalaikan tugas sebagai penyeru ke jalan Allah. Sebab, setiap muslim hendaknya menjadikan da’wah sebagai tugasnya yang utama.