Peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan yang seimbang dengan Tuhannya, sesama mahluk hidup dan lingkungannya. Keseimbangan menjadikan manusia produktif dan bahagia.
Krisis multidimensial yang sekarang melanda dunia serta otomatis meng-imbas negeri ini adalah krisis persepsi yang semakin tajam. Telah terjadi jurang yang tajam antara keadaan yang sebenarnya dengan solusi yang sangat jauh dari masalah sebenarnya bahkan mungkin tak sampai menyentuh masalah yang ada. Apalagi ditinjau dari akar masalahnya juga, bagaimana kita telah jauh dari pemahaman akan sejarah yang telah ada. Dan akhirnya terulanglah sejarah kegelapan pada umat manusia sekarang ini.
Keluarga adalah suatu system terkecil dalam tatanan masyarakat yang mempunyai peranan dalam membentuk karakter bangsa. Peradaban dimulai dari bagaimana sudut pandang suatu bangsa memaknai pembentukan serta perhargaan terhadap institusi keluarga tersebut. Di sebagian orang memandang keluarga seperti dalam tulisan Berger “The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape; motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power”. (keluarga sekarang Nampak seperti setan tua. Hubungan sex pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antar jenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan).
Sejarah membuktikan bagaimana terjemahan system keluarga yang buruk dimulai dari dicabutnya peran wanita dan anak. Pernikahan sebagai sarana menyatukan dua jenis kelamin untuk membentuk suatu keluarga yang saling melengkapi belum dijadikan sebagai sebuah pijakan dasar dalam membentuk peradaban. Bagaimana rendahnya pandangan suatu hubungan yang sah antara wanita dan laki-laki itu masih begitu sangat kabur. Atas nama kebebasan wanita, juga disalah tafsirkan dengan perilaku bebas tanpa etika.
Pada saat peradaban Yunani mencapai puncak kejayaannya wanita-wanita mereka bergabung dengan laki-laki di klub-klub perkumpulan-perkumpulan. Maka menyebarlah saat itu kekejian-kekejian dan kebobrokan moral. Hingga perzinahan dianggap hal yang tidak mungkar. Bahkan para pezina itu memiliki posisi terhormat di pos-pos politik dan pengambilan keputusan. Kemudian buat berhala-berhala yang mereka jadikan Tuhan-tuhan atas nama seni dan sastra. Kemudian mereka mengakui dan membenarkan hubungan laki-laki dan wanita tanpa nikah. Di antara tuhan mereka adalah Afrodeta, yang berbuat mesum terhadap tiga Tuhan, padahal dia istri dari satu Tuhan. Salah satu teman kencannya adalah seorang lelaki dari keturunan manusia biasa yang kemudian melahirkan Kayuveda-Tuhan asamara mereka. Celakanya lagi mereka tidak tahan mengerem keinginan-keinginan binatangnya sehingga terjadilah hubungan sexual menyimpang antara sesama laki-laki (homoseksual) dan mereka membuat patung untuk prilaku menyimpang itu, Hormodes dan Aristogetina yang kedua melakukan hubungan keji. Disinilah akhir peradaban yunani dan kehancurannya (Mustofa as-sibai: Al-Mar’ah baina al-fiqh wa al-qanuun).
Contoh di atas adalah contoh peradaban klasik yang ada jauh di waktu yang lampau. Pada saat Perang Dunia I, akibat kebebasan sex yang diperoleh oleh orang-orang Perancis, adalah lumpuhnya pertahanan tubuh mereka yang semakin hari semakin melemah. Prilaku sex yang tidak terbatas telah melumpuhkan mereka, mereka laksana pemuja sex. Contoh nyatanya ialah adanya tentara-tentara Perancis yang terpaksa ditarik dari tugasnya dan digelandang ke rumah sakit-rumah sakit di dua tahun pertama pada Perang Dunia I tersebut. Karena mereka ditimpa penyakit kelamin (syphilis). Dari jumlah tentara Perancis yang berjumlah 75.000, dalam sebuah barak yang terjangkit 242 orang. Seorang dokter Perancis yang sangat berpengalaman bernama Leired menyatakan bahwa setiap tahun ada sekitar 30.000 orang mati akibat terserang penyakit syphilis dan penyakit-penyakit sejenisnya. Penyakit ini adalah wabah paling buruk untuk orang-orang Perancis setelah penyakit Campak. Abul A’la Al-Maududi: Al-Hijab).
Bencana lain yang menimpa masyarakat Perancis akibat kebebasan sex dan hedonism itu ialah hancurnya struktur keluarga. Berkata salah seorang dekan sebuah fakultas terkenal di Perancis yang bernama Leopol Peyuroe: “Kebanyakan para pemudanya menginginkan cara hidup semen leven di rumah-rumah tanpa adanya ikatan apa-apa. Dan ini berlangsung sampai sepuluh tahun lebih. Mereka terus tersesat di lembah-lembah maksiat yang bebas. Saat datang kesadaran bagi mereka untuk menikah dan kejemuan mendera kemaksiatan yang mereka lakukan, akhirnya mereka kawin dengan temen serumahnya tersebut sehingga bias menggabungkan antara ketenangan rumah tangga dan kemaksiatan di luar rumah.
Tidak heran prilaku tersebut membuat rapuh ikatan perkawinan yang menyebabkan tingginya frekuensi perceraian. Sedangkan pengguguran kandungan sejak 70 tahun yang lalu kampanye untuk melakukan anti hamil terus berlangsung dengan gencar-gencarnya. Akhirnya Perancis mengalami penurunan presentase kelahiran, dalam beberapa tahun malah jumlah kematian lebih tinggi dari jumlah kelahiran. Di samping itu juga jumlah migran yang dating ke Perancis semakin melonjak dari jumlah sekitar 23 juta penduduk Perancis, 3 juta di antaranya adalah para migran (pada tahun1931).
Gerakan Feminisme bukan jawaban
Seorang aktivis feminis, Debra Yatim, saat diwawancara majalah Tiara (179, 23/3/1997), menyatakan: “Saya lebih setuju lembaga perkawinan dilenyapkan sama sekali”.
Slogan-slogan tentang kebebasan wanita yang muncul dan berkembang pada abad 19 dan 20 telah banyak berhasil di beberapa Negara dalam menghancurkan struktur-struktur keluarga. Lahirnya gerakan tersebut berdasarkan salah tafsir atas keberadaan wanita itu sendiri. Ada saat dimana mereka diperlakukan serendah-rendahnya dan ketika dihadapkan oleh suatu etika yang sudah memuliakan mereka tetap saja disalah tafsirkan dengan tuntutan kebebasan dan kesetaraan. Pada awalnya mereka menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminism akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian feminism menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. (Dinar Dewi Kania, SE,MM dalam artikel: isu gender: Sejarah dan Perkembangannya).
Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang (wave) yang mengangkat isu yang berbeda-beda:
- Ditandai dengan publikasi Mary Wallstonecraft yang berjudul “vindication of the Rights of Women” tahun 1792 di saat-saat puncak Revolusi Perancis, Wallstonecraft mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami wanita disebabkan oleh ketergantungan wanitas secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran wanita dari ruang public. Walaupun filsuf moldern tidak sepakat denagn anggapan bahwa para penulis tersebut adalah feminis-Wallstonecraft, misalnya, mengakui bahwa laki-laki terlihat ‘dirancang oleh Tuhan untuk mendapatkan nasib yang lebih tinggi tingkatannya’. Akan tetapi, karyanya, dan kehidupannya, memberikan suatu inspirasi jelas bagi para penulis dan filsuf feminis pertengahan abad ke-20 (Andrew Taylor: Buku-Buku yang Mengubah Dunia hal 179).
- Ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s The Second Sex. Beauvoir berargumentasi bahwa perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap wanita. Mereka mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), seksualitas wanita, dll. Mereka berjuang keras untuk merubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik.
- Dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang menginginkan keragaman wanita (women’s diversy) atau keragaman secara umum, secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh ketertindasan wanita-wanita kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang dialami wanita kulit hitam Amerika. Ketertindasan kaum wanita heterosexual berbeda dengan yang dialami oleh kaum lesbi, dsb.
Dari berbagai gelombang feminis yang terjadi, ide-ide mereka sudah sangat jauh dari akar masalah malah menimbulkan lagi masalah yang lebih parah lagi. Kebahagian yang dikejar para feminis tidak sesuai dengan kebanyakan kaumnya. Ratna Megawangi menunjukkan, bagaimana wanita-wanita Jepang, misalnya sangat bahagia dengan kehidupan mereka sebagai “ibu rumah tangga”. Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepang tahun 1992 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen wanita menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utamanya. Hasil polling Kantor Perdana Menteri Jepang pada tahun yang sama juga menunjukkan, 90 persen wanita Jepang, menganggap pekerjaan rumah tangga, seperti memasak dan mencuci adalah pekerjaan wanita. Survei itu juga mengungkapkan, sebagian besar wanita Jepang menyatakan, wanita sebaiknya tinggal di rumah sampai anaknya masuk sekolah dasar. Dengan pendapat seperti itu, ternyata, wanita Jepang mengaku bahagia. Hasil survei Nihon Keizai Shimbun tahun 1993 menunjukkan, 86,2 persen wanita Jepang mengaku puas dengan kehidupan perkawinannya.
Dimulai Dari Rumah
Peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan yang seimbang dengan Tuhannya, hubungan manusia yang hidup bersama mereka, dengan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan. Manusia yang mampu mengendalikan benda sekitarnya niscaya mendapat ketenangan, memberikan kepuasan sehingga menciptakan alat, menemukan peralatan, mengembangkan temuan, mempergunakan temuannya itu dengan baik tanpa harus menodai unsur lingkungan dengan pencemaran dan pengrusakan. Dari sisi lain, ada yang berbuat baik kepada anak-anak, orang tua, istri dan tetangga, serta berinteraksi dengan mereka dalam ruang lingkup akhlak yang tinggi dan nilai-nilai luhur. Itulah manusia yang berperadaban dalam lingkup ini. (DR. Raghib as-Sirjani, Madza qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah).
Untuk membentuk peradaban yang lebih baik di zaman ini, diperlukan persepsi yang mengakar pada konteks perbaikan yang seharusnya dipahami bersama. Bahwa masing-masing individu yang berbeda kelamin seharusnya seiring dan sejalan. Bukan sebagai yang tertindas maupun penindas, terbelakang maupun terdepan tetapi saling mengisi di antaranya. Hal yang paling mendasar diperbaiki adalah pengokohan institusi keluarga sebagai pijakan dasar membangun peradaban. Adapun dalam konteks yang selama ini dipermasalahkan yaitu peran wanita ada 2 hal yang harus kita pertajam fungsinya. Sebagai peran untuk perubahan yang konstruktif.
- Membangun keluarga dan rumah tangga yang baik. Sekali lagi penekanan akan pentingnya membangun keluarga adalah bahwa keluarga adalah sumber dari penyakit masyarakat, baik fisik, mental maupun spiritual. Maksudnya kalau keluarga itu sehat maka paralel dengan tingkat kesehatan masyarakatnya.
Pada tahun 1950 ada gerakan terapi keluarga. Orientasi-orientasi social baru ini membawa pendekatan-pendekatan terapeutis baru yang memusatkan pada keluarga dan kelompok-kelompok social lainnya di samping menggunakan dinamika di dalam kelompok-kelompok social ini untuk mengawali dan mendukung proses terapeusis. Terapi keluarga didasarkan atas asumsi bahwa gangguan mental pada “pasien yang dikenal” mencerminkan suatu penyakit seluruh keluarga dan oleh karena itu harus diperlakukan di dalam konteks keluarga. Gerakan ini sekarang merupakan salah satu pendekatan terapeutis yang paling inovatif dan paling berhasil. Pendekatan ini telah mempersatukan sebagian dari konsep-konsep system yang baru mengenai kesehatan dan penyakit. (Fritjof Capra: Titik Balik Peradaban).
- Menjaga unsur pokok dalam masyarakat.
Hal ini mencakup peranan wanita dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat. Hendaknya kita terlebih dahulu sepakat bahwa penghinaan terhadap kaum wanita adalah kejahatan, begitu pula melemparkan mereka ke jalan agar dimangsa manusia-manusia buas. Kaum wanita boleh saja bekerja di dalam maupun di luar rumah, sekalipun mereka tetap dituntut tanggung jawab dalam memelihara masa depan keluarga dan menciptakan suasana ketakwaan dan kesucian yang merupakan tugas berat bagi mereka. Jika terdapat lowongan seratus ribu dokter atau seratus ribu tenaga pengajar, tidak ada salahnya jika separo dari jumlah tersebut diambil dari kalangan wanita. Yang paling penting adalah tegaknya etika yang ditetapkan agama dengan menjaga ketentuannya (Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi). Dan juga tidak dipaksakan seperti equality 50-50 yang jelas merendahkan potensi wanita itu sendiri dalam hal bersaing. Sebab korelasi equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota Parlemen di AS misalnya hanya 10,3%, di Jepang 6,7%, di Singapura hanya 3,7%, sedangkan Indonesia 12,2%. Meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapore, dan Jepang.
Akhirnya tugas utama Negara yang mempunyai political will untuk membentuk lahirnya bangsa yang beradab ada tugas besar yang harus difokuskan dalam pembangunan, yaitu mencari sebanyak-banyaknya sarana untuk mendekatkan dan memudahkan kaum wanita pada tugas utamanya. Usaha tersebut akan mudah bila kita semua paham pada akar masalahnya. Contoh; tingkat kematian ibu, yang tinggi jangan dihubungkan kepada konsep pengarusutamaan gender lagi, akan tetapi perbaikilah sarana kesehatan yang sudah ada, peningkatan wawasan seorang ibu akan fungsinya. Serta yang paling penting lagi pengembalian posisi seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Sehingga kita tidak terjebak dalam benang kusut masalah. Dan akhirnya terwujudlah Negara yang adil dan beradab sebagaimana yang kita impikan. Wallahu’alam bishshawwab.
Penulis Fiatri Widuri, ST , Ketua Kelompok Kajian Salimah (KKS)