Potensi akal yang luar biasa telah Allah berikan pada setiap anak yang terlahir kemuka bumi ini. Setiap anak mendapatkan rizki itu, dan menjadi kewajiban setiap orang tua untuk mengoptimalkan fungsi dari otak tersebut, sehingga akan menjadi anak yang cerdas, terutama terampil dalam berbahasa, bijak dalam memutuskan segala sesuatunya.
Seiring dengan pertumbuhan fisiknya maka anak juga akan berkembang kemampuan berkomunikasinya. Dengan rasa ingin tau yang tinggi maka anak akan tetap belajar sampai anak bisa berjalan, walau jatuh bangun dalam proses belajarnya. Ini suatu pelajaran berharga bagi siapa saja bahwa segala sesuatunya berproses dan harus sabar dengan proses itu sehingga mencapai hasil yang diinginkan. Afala yandhurun? Apakah kamu tidak memperhatikan!!
Ada hal lain lagi yang patut menjadi perhatian para orang tua yaitu bagaimana menjadikan anak itu terampil berkomunikasi. Dalam teori kecerdasan majemuk oleh Howard Gardner disebut sebagai kecerdasan berbahasa. Ada kaitannya dengan kecerdasan interpersonal yang sangat dibutuhkan dalam pergaulan nantinya jika anak besar dan anak berada di lingkungan mereka masing – masing yang terkadang kita sebagai orang tua tidak ada di sana. Maka menjadi wajib bagi orang tua untuk melatih anak pandai berkomunikasi dengan dirinya dan dengan orang lain di sekitarnya. Senada dengan itu Rasulullah juga mengingatkan kepada kita hendaklah engkau takut meninggalkan anak anak yang ‘lemah’ . Kita orang tua wajib mendidik anak karena mereka akan hidup di ‘zaman mereka’.
Apakah yang harus orang tua/pendidik lakukan untuk mencerdaskan kemampuan komunikasi anak? Pernahkah kita menyepelekan pendapat – pendapat anak ketika dia berbicara? Bahkan baru mulai bicara kita sudah memotong pembicaraannya sehingga anak frustasi, merasa tidak dihargai pendapatnya, bahkan merasa takut karena begitu egoisnya orangtua dalam membenarkan pendapat dirinya sendiri. ‘Kamu tau apa? Kamu baru lahir, sementara ibu sudah lama hidup, sudah banyak makan asam garam’. Sikap orang tua yang salah seperti inilah yang menuntun anak untuk diam. Karena anak belajar dari lingkungannya, bahwa kalau berbicara dengan orangtua harus banyak mendengarkan dan tidak boleh ada pendapat atau ekspresi. Bahkan orang tua ada yang mengharuskan anaknya diam untuk menunjukkan kepatuhan akhlaknya, dan menunjukkan bahwa anak mempunyai etika yang tinggi. Duhai orang tua yang selalu mematikan kreatifitas anak dalam berbicara, sesungguhnya anakmu itu butuh kepada ekspresi pemikiran-pemikirannya serta kemampuan berdialog dengan penuh etika dan akhlak mulia. Bisa atau tidak anak berkomunikasi dengan baik sangat bergantung pada kesempatan yang selalu orang tua berikan pada anak. Memberikan kesempatan berbicara pada anak dan menghargai pemikiran meraka itu salah satu tanda sayangnya kita pada buah hati.
Bagaimana sayangnya nabi Muhammad saw pada anak anak dan tidak ingin mematikan semangat anak ketika mereka ingin ikut bertempur di medan peperangan bersama ayah dan saudara mereka yang telah dewasa, mereka ingin meraih syahid seperti saudaranya yang lain, masya Allah, dengan penuh ketenangan dan kebijakan Rasulullah mendengarkan pendapat anak tersebut dan baru memutuskan dengan penuh kebijakan. Akhirnya di kota Madinah Rasulullah melakukan seleksi atas anak anak yang telah siap untuk berperang dengan cara menyuruh mereka berlatih sehingga mereka terampil menggunakan panah dan pedang serta pandai menunggang kuda, yang menjadi bekal mereka. Di akhir tahun Rasul mengadakan perlombaan buat menyeleksi siapa diantara anak yang sudah layak dan pantas ikut dalam peperangan. Subhanallah ini semua berawal dari keinginan Rasul mendengarkan dan menghargai pendapat anak. Sehingga anak anak terus mengisi waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat karena keinginan mereka .
Lain lagi dengan sahabat Umar bin Khattab amirul mukminin yang diadukan oleh seorang ayah tentang kedurhakaan anaknya, dan tidak ada yang dilakukan Umar kecuali memanggil anak tersebut supaya dapat dipahami hakikat permasalahnnya. Umar berkata kepada si anak, “Apa yang telah mendorongmu untuk durhaka kepada ayahmu?” Ia menjawab, “wahai amirul mukminin, Apa hak anak atas ayahnya?” Umar berkata, “Membaguskan namanya dan memperbaiki pilihan ibunya, dan mengajarkannya Al-Qur’an.” Lalu si anak berkata,”Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah melakukan itu padaku”. Umarpun berpaling kepada ayah, dan berkata kepadanya, “Engkau telah mendurhakai anakmu, sebelum dia mendurhakaimu.” Disini Umar bin khattab telah melakukan dialog dengan anak-anak, untuk memutuskan perkara antara ayah dan anak. Subhanallah Seorang khalifah pemimpin ummat melakukan itu demi mendapatkan keputusan yang bijak dan tidak mendhalimi anak atau ayah. Semua pada porsinya. Umar melakukan cek and rechek sekalipun harus meminta pendapat anak demi menegakkan kebenaran.
Bagaimana mulianya sang Abu Hanifah yang ditegur oleh anak kecil, saat ia menegur seorang anak agar berhati- hati tapi sebaliknya anak tersebut malah menasehati dirinya agar tidak terjatuh karena terjatuhnya seorang alim berarti terjatunya seluruh alam. Dari sejak mendengarkan nasehat anak kecil itulah imam Abu Hanifah tidak lagi mengeluarkan suatu fatwa kecuali setelah ia mempelajari satu bulan penuh dengan muridnya. Subhanallah pemikiran sang anak telah mewarnai kehati-hatian sang Imam dalam mengambil keputusan.
Dari kisah di atas marilah kita melakukan dialog dengan anak kita dalam suasana yang kondusif, tenang dan menyenangkan bagi anak. Anak merasa puas batinnya setelah bertemu dengan orang tua.
Buang anggapan bahwa anak tidak tau apa-apa dan hanya taunya bermain saja. Ingat anak kita selalu belajar dan terus belajar karena Allah telah memberikan kesempatan itu pada anak kita. Dan janganlah amanah itu kita renggut dari anak kita. Kita telah merampas hak anak kita sendiri, hak berbicara dan hak mengekspresikan diri.
Jika kita mengasuh anak kita dengan kasih sayang maka ia akan menyayangi kita. Jika kita mengasuh anak kita dengan ejekan maka ia akan belajar memaki orang lain. Semua berawal dari kita sebagai pengasuh dan pembimbing anak wahai para ibu dan ayah. Semoga doa orang tua juga selalu menuntun anak kita tumbuh menjadi anak yang santun sebagaimana pribadi Ismail As yang selalu dituntun dengan doa ayahnya Ibrahim As. Bahkan doa nya telah membuat Ibrahim sangat santun pada anaknya dan selalu mengajak anaknya untuk berdialog dan meminta pendapatnya. Ingatlah ketika Ibrahim As meminta pendapat anaknya Ismail ketika Allah memintanya untuk menyembelih anaknya sendiri. Ibrahim As menanyakan pada anaknya dengan ungkapan sebagimana dialog yang terjadi di Alqur’an surat As-Shaffat ayat 102, “Wahai anakku sayang, sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu”. Sang anak menberikan pandangan dari hasil olahan pemikirannya sendiri,” wahai ayahku laksanakan apa yang Allah pintahkan kepadamu, insya Allah Engkau mendapatiku termasuk orang orang yang sabar”. Tidak mungkin Ismail kecil bisa mendukung keinginan ayahnya dalam bahasa yang santun jika ibunya, Ismail, Hajar tidak pernah mengajarkan. Bagaimana ibunya mengajarkan Ismail akan kepatuhan pada Allah dan Orang tuanya dalam dialog yang dibangun oleh keduanya.
Marilah kita menjadikan ibunda Hajar sebagai inspirasi kita dalam mendidik putra putri kita sehingga mereka mempunyai kepekaan terhadap perintah Allah Swt. Dapat menangkap sinyal-sinyal perintah dan larangan dengan tanggap. Allah mengungkapkan dengan bahasa yang santun dan lugas setiap perintah dan larangannya. Akankah anak anak kita dapat menangkap sinyal-sinyal itu jika kita tidak membangun komunikasi yang baik dengan anak kita? Tentu tidak. Sehingga menjadi wajiblah bagi orang tua untuk selalu membangun komunikasi positif dengan anak kita. Hadirkan selalu pesan -pesan Allah dalam setiap dialok dengan anak kita.
Semoga anak kita menjadi anak yang pandai mengekapresikan dirinya dengan santun karena Allah memperkenalkan kesantunannya dalam berkomunikasi dengan hambanya dalam Alqur’an. Karena itu marilah kita dekatkan anak kita dengan Alquran.
DR . Khasanah, S. Pd, M.Pd
Dept. Pendidikan PP Salimah