Al-Qur’an, selain fungsi utamanya sebagai petunjuk (hudan), juga merupakan Mashdarut Ta’assi (sumber menggali keteladanan). Keteladanan yang dimaksud bisa dalam konteks kebaikan maupun sebaliknya dalam konteks keburukan. Sebut saja misalnya Fir’aun yang diabadikan namanya oleh Al-Qur’an merupakan sosok yang tampil sebagai contoh kedurhakaan.
Begitu juga dengan sosok Qarun yang merupakan simbol akan kekikiran manusia yang bergelimang harta. Demikian sebaliknya, figur Nabi Musa as yang banyak disebut namanya di dalam Al-Qur’an, figur Muhammad, Ibrahim dan Isma’il as, Luqman Al-Hakim dan manusia-manusia unggulan lainnya merupakan contoh keteladanan dalam kebaikan.
Memang itulah SunnatuLlah yang menghendaki agar kisah-kisah kehidupan mereka yang diabadikan namanya menjadi pelajaran yang sarat makna dalam kehidupan manusia sepanjang zaman. Allah berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Yusuf: 111)
Dalam konteks keteladanan yang baik, terdapat dua sosok yang diabadikan oleh Al-Qur’an sebagai uswah hasanah yang paripurna dalam semua dimensi kehidupannya. Mereka berdua adalah Nabi Ibrahim as sebagai bapaknya para nabi (Abul Anbiya’) dan Muhammad saw sebagai penghulu dan penutup para nabi (Khatamul Anbiya’). Tentu pengabadian Al-Qur’an akan orang-orang tertentu merupakan jaminan akan kebaikannya sepanjang zaman, tidak seperti otobiographi yang dikarang oleh manusia yang terkadang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan mengandung cacat atau bahkan cenderung menutup-nutupi aib yang sesungguhnya wujud pada orang yang dimaksud. Dan hanya dua nama tersebut yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai uswah hasanah.
Nabi Ibrahim as selaku KhaliluLlah dan Abul Anbiya’ dipercaya Allah untuk menjadi uswah hasanah dengan firmanNya, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia”. (Al-Mumtahanah: 4). Sedangkan jaminan Allah akan keteladanan Nabi Muhammad saw ditegaskan dalam firmanNya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab: 21).
Pertanyaan yang kerap muncul: mengapa hanya dua nama yang disebut oleh Al-Qur’an sebagai uswah hasanah?.
Prof. Muhammad Al-Ghazali ketika menggambarkan kehidupan pribadi Rasulullah saw dalam bukunya Fiqh Sirah mengisyaratkan bahwa kehadiran Khadijah dalam kehidupan Rasulullah justru menyempurnakan dan memperkuat sisi kebaikan Rasulullah saw. Bisa dikatakan bahwa tampilnya Rasulullah sebagai teladan adalah diperkuat dan didukung serta turut dibantu oleh orang-orang yang terdekat dengan beliau; oleh para istri-istrinya yang mulia yang merupakan Ummahatul Mu’minin, mertua dan menantunya yang sekaligus merupakan sahabat karibnya, anak-anak sampai kepada cucu-cucunya. Kebaikan orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah turut memberikan andil pada kesempurnaan kebaikan Rasulullah saw.
Betapa kita tidak dapat menerima jika seseorang menjadi tokoh di tengah-tengah masyarakat, namun ternyata ketokohannya tidak didukung oleh keluarganya. Bahkan justru keluarganyalah yang mencoreng citra dan nama baiknya karena perlakuan keluarganya sangat bertentangan dengan pribadi orang yang ditokohkan. Disinilah rahasia perintah Allah swt dalam surah At-Tahrim ayat 6 “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Memelihara dan memperbaiki diri (ishlahun nafs) merupakan prioritas yang harus dilakukan agar bisa dijadikan uswah. Namun tugas seorang uswah tidak berhenti disini, tetapi diteruskan dengan memelihara dan memperbaiki orang-orang yang terdekat dengannya, terutama keluarga, karena tampilnya seseorang menjadi tokoh dan panutan tidak bisa dilepaskan dari peran serta dan dukungan orang-orang terbaik yang berada di sekitarnya. Karena kita sadar, bahwa sebaik apapun seseorang tidak akan mampu bertahan dengan kebaikannya manakala lingkungan di sekitarnya –yang diawali oleh lingkungan keluarga – justru tidak mendukung kondusifitas dirinya. Seperti pepatah Arab menyebutkan “Fakaifa Tabni Waghairuka Yahdimu: Bagaimana anda membangun sementara orang lain malah menghancurkannya”.
Disinilah peran pentingnya kebaikan kolektif yang merupakan rahasia kebaikan kehidupan di era Rasulullah dan para sahabatnya sehingga mendapat jaminan generasi yang terbaik “Khairul Quruni Qarni Tsummal Ladzina Yalunahum Tsummal Ladzina Yalunahum”. Dalam hal ini, para ulama menyebutkan alasan kebaikan generasi pertama dari umat ini bahwa Allah berkehendak menghimpun pada satu waktu di satu tempat orang-orang yang terbaik dalam semua segi kehidupan yang saling melakukan interaksi dan tawa’un dalam menampilkan dan menyebarkan kebaikan tersebut.
Nabi Ibrahim diabadikan namanya sebagai sosok yang layak dijadikan uswah hasanah juga tidak lepas dari peran serta keluarganya. Isma’il seorang anak teladan yang siap menyahut seruan Allah demi memperkuat keteladanan bapaknya, “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaaffat: 101-102). Begitu juga dengan istrinya yang siap berdampingan dengan wanita bekas hambanya sebagai istri nabi yang mulia. Sungguh satu sikap keteladanan seorang istri yang layak dijadikan contoh konkrit oleh istri-istri masa kini.
Akumulasi kebaikan mereka turut mengangkat figur Ibrahim menjadi manusia yang dijamin keteladannya sepanjang zaman tanpa ada cacat yang mengurangi kualitas keteladanannya.
Demikianlah sunnatuLlah yang berbicara tentang rahasia keteladanan seseorang. Saat ini kita sangat mendambakan bahwa kita bisa dijadikan teladan oleh orang lain dan keteladanan kita tentu harus diawali dengan diri sendiri dan seterusnya diperkuat dan didukung oleh keteladanan orang-orang di sekitar kita, terutama keluarga kita. ”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Al-Furqan: 74).
(S Rahma FM)