Non Stop Berilmu, Menuntut Ilmu Tanpa Kenal Waktu dan Usia .

by -3448 Views

nonstop

Perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw sebagai seorang nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) mengajarkan hikmah yang begitu banyak terhadap umat Islam. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah SAW mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu, mulai dari buaian ibu hingga memasuki liang lahat.

Dari sosok Beliau Saw, seakan Allah SWT hendak mengajarkan bahwa ketika seseorang tidak bisa membaca dan menulis, maka hal itu  bukan kendala  dalam  menuntut ilmu. Betapa banyak orang yang terlahir dengan kondisi fisik yang terbatas, sepanjang ada kemauanmaka ia tetap bisa belajar. Dengan kesempurnaan panca indera, justru akan menggenapi rasa syukur kepada-Nya supaya lebih maksimal dalam menimba ilmu. Sebagaimana diingatkan dalam surah  Al Isra’ ayat 36, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”

Hakekat ilmu adalah apa yang berhasil dihafalkan (Ibnul Jauzi), bukan semata-mata yang ditulis dalam kertas, terketik di laptop dan lainnya. Mari belajar dari Wahyu Allah Ta’ala yang  turun dengan cara diperdengarkan atau dibacakan oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad Saw. Menjadi pelajaran pertama bagi umat, bahwa ayat  Al Qur’an turun  bukan dalam bentuk tertulis. Tulisan adalah symbol dan salah satu metode pembelajaran, yang akan memudahkan manusia menyerap ilmu melalui media tulisan.  Dalam hal ini terkandung perintah Allah SWT agar hamba-Nya gemar dan berlomba-lomba menghafalkan. Mari kita perhatikan bahwa setelah ayat Al Qur’an dibacakan selanjutnya  untuk dihafalkan, baru muncul perintah untuk menuliskan. Dengan harapan agar bisa dibacakan kembali kepada seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia. Dengan menghafalkan, Ia berharap  agar pesan-Nya melekat dalam ingatan dan hati, agar mudah diingat-ingat dan dilaksanakan. Demikianlah al Qur’an menjadi lebih mudah sebagai bahan peringatan dan kabar gembira.

Kebiasaan menghafal di zaman Nabi Saw berlanjut menjadi  tradisi turun-temurun yang terlihat  pada sikap dan perilaku ulama dalam menuntut ilmu. Mereka rela mengorbankan jiwa, raga, harta dan waktu dalam kehidupan agar mampu menghafal al Qur’an, Hadits dan berbagai disiplin ilmu. Saat kematian Imam Ahmad bin Hambal ditemukan 12,5 pikul unta kitab yang beliau hafal. Imam Bukhori telah hafal 100.000 hadits shohih dan 200.000 hadits tidak shohih.  Ibnu Taimiyah telah membuat begitu banyak karya tulis dengan mengandalkan hafalannya ketika ia berada dalam penjara.

Dalam jiwa ulama tertanam kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu dan mereka sangat bergairah untuk menyambut penghargaan Allah Ta’ala terhadap manusia yang beriman dan berilmu, sesuai firman-Nya dalam Surah Al Mujadilah ayat 11 “…niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha telilti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Bagaimana mereka bersikap terhadap harta agar bisa digunakan secara maksimal dalam menuntut ilmu dan menyiapkan ilmu, tempat, waktu bagi para penuntut ilmu dan berusaha untuk  bisa mewariskan illmu. Ibnul Jauzi telah mempelajari lebih dari 20.000 jilid buku, namun ia mengaku cita-citanya belum tercapai.

Mereka siapkan waktu terbaik untuk menghafal dan mengulang-ulang hafalan, yakni sebelum tidur di malam hari, di tengah malam, di waktu sahur dan pagi hari. Kisah kecil Ibnu Taimiyah yang mengelak saat diajak bertamasya setengah hari oleh sejumlah keluarganya, di tengah kebanggaan mereka menceritakan kesenangan sepulang dari tamasya, ia justru berkomentar “kalian tidak mendapatkan tambahan apa-apa, sementara aku dalam waktu kepergian kalian telah menghafal satu jilid kitab Jannah an Nadzhir wa Jannah al manazhir.” Tercatat Al Hasan bin Abu Bakar An Naisaburi yang menganjurkan mengulang hafalan sebanyak 50 kali. Imaduddin, murid Imam al Haramain yang paling cerdas setelah al Ghazali, mengulang ilmu agar hafal sebanyak 70 kali. Abu Ishaq Asy Syirazi biasa mengulang pelajaran yang ia dapatkan sebanyak 100 kali.

Kesungguhan ulama’ dalam mencintai ilmu tampak pula dalam penerapan mereka akan pola hidup sehat, untuk menjaga fitalitas tubuh. Mereka menyiapkan makanan terbaik agar menjaga kesehatan fisik dan mengkonsumsi makanan yang dapat menguatkan hafalan, seperti yang dilakukan oleh Ali ra yang menganjurkan makan buah delima yang manis. Ibnu Abbas ra menganjurkan mencukur bagian belakang kepala untuk menambah kuatnya hafalan. Sementara Az Zuhri senang mengonsumsi madu dan kismis karena baik untuk membantu hafalan. Di sisin lain,  al Ju’abi menyarankan konsumsi kue susu dalam menguatkan hafalan.

Betapa ulama terdahulu telah mempersembahkan hidup mereka untuk menuntut ilmu tanpa kenal waktu dan usia. Ya Allah….terasa sekali ketertinggalan kami  dalam berilmu dan sungguh hati ini pilu. Semoga paparan singkat ini membangkitkan semangat hidup kami dan generasi sesudah kami untuk menghafalkan Al Qur’an, Hadis Rasul Saw dan semua ilmu. Amin

Siti Faizah

(Ketua Umum PP Salimah)