Ayat-ayat puasa itu Istimewa

by -12673 Views

 

Allah SWT memberikan keistimewaan yang besar kepada ibadah puasa yang agung ini langsung melalui ayat-ayatNya yang juga spesial. Pertama, hanya ibadah puasa Ramadhan yang ditetapkan target yang sangat tinggi dengan ungkapan ‘agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa’. Padahal tidak ada kedudukan yang lebih tinggi di mata Allah dari kedudukan taqwa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa”. (Al-Hujurat: 13). Bahkan terdapat beberapa target lain yang diungkapkan dengan ungkapan pengharapan yang sama ‘la’alla, yaitu la’allakum tasykurun (agar kalian menjadi orang yang paling bersyukur) dan la’allahum yarsyudun (agar mereka senantiasa mendapat bimbingan Allah swt). Sedangkan ibadah yang lainnya seperti shalat, zakat dan haji tidak disebutkan secara eksplisit harapan Allah atas pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut. Harapan Allah yang sangat besar dari pelaksanaan ibadah puasa ini tentu mengindikasikan utama dan urgensi puasa dalam kehidupan orang yang beriman karena mereka akan dinaikkan kelasnya dari orang beriman menjadi orang bertaqwa melalui media puasa Ramadhan dengan segenap paket ibadah yang ‘include’ di dalamnya.

Kedua, hanya ayat-ayat yang berbicara tentang puasa yang dihimpun dalam satu surat secara berurutan, yaitu surat Al-Baqarah dari ayat 183 sampai ayat 187 sehingga memudahkan untuk membaca, memahami dan mengetahui hal-hal yang terkait dengan ibadah puasa dalam tinjauan Al-Qur’an Al-Karim tanpa harus mencari di beberapa surat atau ayat yang lain seperti yang terjadi pada ibadah selain puasa. Tentu susunan Al-Qur’an yang sedemikian ini bukan tanpa hikmah dan pelajaran yang harus diungkap dan tidak sekedar untuk memenuhi unsur keindahan bahasa Al-Qur’an dan aspek bahasa lainnya. Susunan ayat-ayat puasa yang berurutan merupakan bentuk perhatian besar Allah terhadap ibadah yang agung ini.

Ketiga, pada umumnya, Al-Qur’an hanya akan berbicara secara global berkenaan dengan ibadah tertentu karena penjelasannya diserahkan kepada Rasulullah SAW seperti dalam shalat, Rasulullah bersabda menjelaskan secara rinci tata cara shalat melalui haditsnya : “Shalatlah seperti engkau semua melihat aku shalat”. Demikian juga dengan ibadah haji, Rasulullah memerintahkan agar berhaji sesuai dengan tuntunan melalui sabdanya: “Ambillah dariku manasik (tata cara) ibadah haji kalian”. Berbeda dengan ayat puasa, Allah menjelaskannya lebih rinci hal-hal yang terkait dengan aspek fiqih puasa, seperti mereka yang diwajibkan berpuasa, mereka yang diberi keringanan berpuasa dan cara mengganti puasa yang ditinggalkannya, waktu berpuasa, sampai kepada ibadah agung yang menyertai ibadah puasa yaitu i’tikaf secara lengkap. Penjelasan yang lebih rinci dari Al-Qur’an ini menunjukkan nilai istimewa dari ibadah puasa yang dibedakan dengan ibadah-ibadah yang lain yang cukup memadai penjelasan rincinya melalui Rasulullah SAW.

Keempat, apabila dicermati ayat per ayat dari ayatus shiyam, maka setiap ayat secara berurutan tersebut merupakan penjelas bagi ayat sebelumnya, demikian seterusnya sehingga merupakan satu kesatuan ayat yang sinergis dan memiliki keterkaitan, bahkan saling melengkapi membentuk satu susunan ayat yang memiliki makna yang korelatif dan komprehensif. Sebagai contoh misalnya ayat 183 yang berbicara tentang target dari pelaksanaan ibadah Ramadhan yang demikian tinggi yaitu untuk mencapai derajat taqwa membutuhkan waktu yang panjang. Jangankan membina manusia menjadi yang paling tinggi (orang bertaqwa) membina manusia menjadi seorang mu’min, seorang yang ta’at dan shalih saja membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka ayat setelahnya (184) menjelaskan bahwa proses pembinaan menuju insan bertaqwa harus dilakukan dalam waktu yang relatif lama “Ayyamam Ma’dudaat”. Dan memang hanya ibadah puasa yang waktu pelaksanaanya berlangsung lebih lama dibanding dengan ibadah mahdhah lainnya seperti shalat yang dapat dirampungkan dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam saja, demikian juga zakat yang waktu pelaksanaanya singkat dan ibadah haji yang hanya memakan waktu lima sampai 6 hari (tgl 8 Dzulhijjah – 12 atau 13 Dzulhijjah) sesuai dengan manasik yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Tentu setting waktu yang sangat panjang bagi ibadah Ramadhan mengisyaratkan skenario Allah yang demikian jitu untuk menghadirkan manusia tertinggi sepanjang zaman yaitu orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.

Ayat ke 185 yang diawali dengan ungkapan “Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas akan petunjuk tersebut, serta sebagai pembeda….” merupakan penjelas bagi ayat sebelumnya bahwa proses pembinaan manusia menuju insan bertaqwa yang memakan waktu relatif lama (satu bulan) perlu pembentukan suasana yang kondusif, maka Allah pilih bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an yang akan menyinari hati-hati manusia kala itu dan siapapun pasti merasakan suasana yang demikian kondusif dan tenang untuk meningkatkan ketaqwaannya di sisi Allah SWT. Dan ternyata benar, siapapun di bulan Ramadhan akan jauh lebih bertaqwa dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya. Sampai Rasulullah saw mengancam dalam salah satu sabdanya: “.

……..Barangsiapa yang terhalang dari kebaikan (bulan Ramadhan), berarti ia terhalang dari kebaikan (selama-lamanya) (H.R. Ahmad dan Tirmidzi)

Namun bagaimanapun kondusifitas waktu di bulan Ramadhan dengan setting berbagai program kebaikan dan planning waktu yang panjang tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan apabila tidak mendapat pertolongan dan rahmat Allah SWT. Maka seperti yang dinyatakan di ayat 186, kedekatan dengan Allah merupakan faktor yang sangat menentukan seseorang akan mendapat bimbingan Allah SWT. Semakin dekat seseorang dengan Allah, maka semakin ringan dan mudah menjalankan kebaikan, dan itu pertanda kasih sayang dan rahmat Allah kepadanya. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi: “Jika hambaKu mendekat kepadaKu satu jengkal, maka Aku akan mendekat dengannya satu hasta. Dan jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari….”(H.R. Muttafaqun Alaih)

Demikian tajam dan tegas redaksi ayat pertama sampai ayat keempat yang berbicara tentang puasa yang akan memompa semangat dan motifasi seseorang untuk menunjukkan ketaqwaannya yang lebih di bulan yang mulia dengan beragam aktifitas ibadah dan amal shalih yang terkadang bisa jadi menafikan aspek ibadah sosial dan hak serta kewajiban ‘Adami’, maka di akhir ayat puasa (Al-Baqarah: 187) Allah memberi keringanan sekaligus mengingatkan bahwa aktifitas ibadah mahdhah yang demikian kuat tidak boleh melalaikan ‘totally’ akan hak dan kewajiban kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat dalam bentuk hubungan dan komunikasi lainnya: “Dihalalkan bagi kalian di malam-malam puasa untuk bercampur dengan isteri-isteri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian juga adalah pakaian bagi mereka”……

Demikian indah, lengkap, dan erat korelasi antar ayat-ayat puasa yang semakin menunjukkan istimewanya ibadah yang satu ini di mata Allah. Karena Allah sendiri yang mengistimewakannya melalui ayat-ayatNya yang mulia. Tentu harapan Allah yang demikian besar yang tertuang dalam ayat-ayat puasa tidak akan dihampakan oleh orang-orang yang beriman, karena merekalah adalah hamba-hamba pilihanNya yang diseru dengan ungkapan cinta dan kasih saying ‘Nida’ul Wudd Wal Mahabbah’: ‘Hai orang-orang yang beriman’. (DR. Atabik Luthfi – buku Ayat-ayat Puasa)/RA