Berawal dari kebersamaan dalam keluarga Ibrahim di Palestina, berlanjut hijrah ke Makkah, sa’i antara Shafa dan Marwa, sumur zam-zam, penyembelihan hewan kurban di hari nahar hingga pembangunan Ka’bah, menjadi saksi sejarah bagi Ibunda Hajar, uswah hasanah sepanjang masa bagi kaum ibu yang mendamba generasi emas. Memori perjuangan ini akan menjadi ingatan sepanjang prosesi ibadah haji dan umroh, melalui thowaf dan sa’i yang tidak kenal henti. Lima hal yang menghantarkan Ibunda Hajar patut menjadi teladan dalam mendidik generasi emas. Bagian dari keluarga Ibrahim, keluarga pilihan Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ali Imran, ayat 33.
Pertama, belajar tentang keimanan kepada Allah Ta’ala sebagai landasan pertama dan utama telah tertanam dengan benar dan kokoh, semenjak bersama keluarga Ibrahim. Iman membingkai cara berpikir, berkata, bertindak dan mendidik anak. Keimanan telah menyatu dengan jiwa yang bersih, terlihat pada dialog bersama suaminya. Atas perintah Allah Ta’ala, Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan diri dan anaknya di lembah yang tidak ada manusia dan tidak ada apa-apa. Rasa kemanusiaan mendorongnya bertanya, “Hai Ibrahim, di mana engkau meninggalkan kami?.” Ketika berkali-kali tidak mendapatkan jawaban, jiwa yang dipenuhi keimanan kepada Dzat Yang Maha Menentukan mudah mengerti,“Kalau begitu, Allah SWT tidak akan menelantarkanku.”
Kedua, perempuan cerdas yang dibesarkan di lingkungan kerajaan Mesir, memperlihatkan sosok Ibu yang senang belajar dan mengajar, mengasah kemampuan berpikir dan membekali puteranya, Ismail menjadi anak yang layak terpilih sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT. Pesona Ibu edukatif nampak pada dialognya dengan utusan Bani Jurhum, “Apakah engkau mengizinkan kami berhenti di tempatmu?” Hajar menjawab, “Boleh, namun kalian tidak mempunyai hak atas air.” Sekelompok kabilah meminta izinnya tinggal dan bertetangga dengannya. Sang utusan berkata, “Ya, saya terima persyaratan tersebut.” Ibunda Hajar membuka peradaban baru, mengumpulkan anak-anak kecil Kabilah Jurhum, mengajari mereka hingga menghafal Shuhuf Ibrahim. Menjadi pengajar perempuan pertama yang menulis dengan pena di Makkah. Tanah yang semula tidak berpenghuni menjadi bumi yang dicintai dan diminati orang-orang beriman sepanjang masa.
Ketiga, Berpikir positif menghantarkannya menjadi Ibu yang inspiratif, kreatif dan produktif. Dengan kemauan yang tinggi, penuh semangat, terus berusaha mencari mata air, sumber penghidupan bagi diri dan anaknya (Qs.Al Anbiya’: 30). Ia berlari-lari kecil antara Bukit Shofa dan Marwa sebanyak tujuh kali, menjadi bukti perjuangan Ibu yang sesungguhnya. Tidak bertumpu pada ketidakberdayaan, kesepian, keterlantaran dan kelemahan. Tampak kesabaran sebagai puncak kebaikan, akar keutamaan, sumber kemuliaan dan panji ketinggian.
Setiap kali Sa’i, pandangan umat Islam dibawa menelusuri sepak terjang perjuangan Ibunda Hajar. Hendaknya setiap diri berterima kasih dan bersyukur kepada-Nya dan kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu atas perjuangannya. Hingga Rasul SAW mengajarkan anak agar berbakti kepada ”Ibumu,” sebanyak tiga kali, baru “Ayahmu.”
Ditengah upaya Ibunda Hajar yang tidak kenal henti, ia terperangah melihat pancaran air di bawah kaki bayi Ismail. Dengan sigap memenuhi seluruh kantong dengan air, namun tetap memancar. Ia berupaya menggali tanah agar menjadi kolam air, Rasul SAW bersabda, “Seandainya ia tidak menciduk air,” zam-zam tetap menjadi mata air yang mengalir. Kerelaannya membawa keberkahan, menjadikan sumur zam-zam sebagai sumber mata air yang tidak pernah kering, bermanfaat hingga ke seluruh dunia.
Keempat, Ismail tumbuh menjadi anak yang mempesona, akhlak Ismail mencerminkan sosok ibunda yang berjiwa bersih, penyayang dan penyabar. Kesiapan Ismail menjalankan perintah Allah Ta’ala dengan senang dan tenang (Qs.Ash Shoffat : 102), mulai dari mimpi Ibrahim menyembelihnya hingga membangun Ka’bah merupakan hasil perjuangan ibunda Hajar dalam menanamkan nilai-nilai keimanan yang kuat dan benar pada puteranya. Sehingga muncul sosok anak yang taat kepada Penciptanya, berbakti kepada kedua orang tua, berharkat dan bermartabat, bermanfaat dan patut menjadi teladan bagi anak.
Kelima, dalam masa delapan puluh tahunan, Ibrahim tidak pernah berhenti memohon kepada Allah Ta’ala agar dikaruniai keturunan yang shalih. Memperisteri Hajar dan kelahiran Ismail, bagian dari pengabulan do’a Ibrahim ‘alaihissalam, “Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail)” (Qs. Ash Shaffat: 100-101)
Kaum ibu masa kini tidak menatap wajah ibunda Hajar, namun ikatan keimanan telah menyatukan kami dengannya. Dengan iman memancar kesabaran, keteguhan, kekuatan, kecerdasan dan keberkahan. Mensyukuri hadirnya sosok ibu yang sukses dalam mendidik anak. Ibu yang dikenal sebagai pendiri satu umat, ibu orang-orang Arab, ibu umat terbaik bagi manusia, ibu bagi negeri yang diberkahi Allah Ta’ala. Ia isteri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan ibu Nabi Ismail ‘alaihissalam. Patut menjadi bahan perbincangan zaman dan dunia, mengakui kedudukan dan perjuangannya dalam mendidik generasi emas.
Siti Faizah (26/8/2017)
Ketua Umum Persaudaraan Muslimah (Salimah)/RA