Penulis: Fitriatunnisa AW, PD Salimah Kota Bima
“Astaghfirullah…” Aku tersentak melihat jam. Tujuhpuluh menit berlalu sejak aku berniat membersihkan kamar. Dan bukan sapu yang pertamakali diraih oleh tanganku, melainkan HP di atas meja.
Pernah punya pengalaman seperti ini?
“Sebentar aja, Cuma cek chat WA doang…” Merasa penting dan harus segera dibalas. Keterusan.
“Ada yang inbox nih, lihat dulu.” Siapa tahu ada yang mau beli jualan.
“Waduh, isi beranda racun semua ini…” scrol, scrol, terus sampai pegel.
Seringkali pengalaman ini berulang, sedikit kesal pada diri sendiri, menyesal, lalu terulang kembali. Waktu berlalu tanpa disadari, pekerjaan rumah tak kunjung selesai, urusan anak dan keluarga pun terbengkalai.
Ada yang bergeser, bahkan telah jauh ditinggalkan. Terbiasa berbagi cerita di beranda medsos, lalu beranda rumah kita sunyi tanpa kata.
Kadang membayangkan, betapa indahnya masa kecil bersama orangtua dan saudara. . Ikut terlibat menyiapkan menu makan keluarga, sibuk mencicip, menata piring, memilih piring kesukaan untuk diri sendiri. Bercerita tanpa tersedak, menertawakan hal lucu yang tadi menjadi sumber keributan dengan saudara. Bebas, lepas.
Lesehan bareng-bareng, bercerita apa saja, membayangkan bagaimana kalau kita besar nanti, menikmati hujan sambil menunggu jagung panggang atau ubi rebus di kolong rumah. Selalu ada telinga dan hati bagi setiap ‘apa yang kamu pikirkan?’.
“Sudah sholat?” Satu pertanyaan yang selalu diajukan begitu ayah dan ibu pulang dari masjid. Saya dulu bahkan berpikir, itu akan menjadi pertanyaan abadi. Bahkan hingga hari ini, ketika sesekali pulang menjenguk orangtua, pertanyaan itu kerap terdengar diajukan juga kepada cucu-cucu mereka. Jika pun belum, bersegera mengambil wudhu adalah jawaban yang saya berikan.
“Ada pelajaran yang tidak dipahami?” sambil menanyakan itu, ayah mengambil posisi berdiri disebelah kursiku. Meletakkan tangan kiri di atas meja, dan tangan kanan di belakang bahuku. Memperhatikan buku matematika yang terbuka di atas meja.
Ketika membayangkan kisah itu, apakah kita merasakan hal yang sama? Memikirkan hal yang sama?
Sekurangnya, ada dua hal yang saya rasa dan pikirkan bisa menjadi bekal bagi kita dalam menjaga ketahanan keluarga, khusunya menjaga hubungan antara orangtua dan anak.
Pertama. Orientasi hidup yang benar.
Allah. Tujuan yang selalu menguatkan. Inilah yang tersirat dari kesabaran dan kekokohan yang selalu menggema dari sikap dan perilaku orangtua kita. Kegigihan mereka mengingatkan kita sholat, tetap membangunkan meski kita tertidur. Bahkan mengajak teman-teman kita juga sholat ketika waktu sholat tiba sementara kita sedang asyik bermain bersama teman.
‘Sudah Sholat?’ Sebuah tanya yang mengingatkan saya pada kisah Nabi Ya’kub dalam Quran surat Al Baqarah ayat 133, menjelang sakaratul maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘apa yang akan kamu sembah sepeninggalku?’ sebuah tanya yang menginginkan kepastian apakah kelak anak-anaknya akan tetap menyembah Allah, semacam jaminan keteguhan tauhid.
Sejauh apapun jarak anak dengan orangtua kelak, sebanyak apa pun riak antara anak dan orangtua, ketika orientasi hidup berada pada frekuensi yang sama, maka akan selalu ada alasan untuk tetap menjadi anak yang berbakti, sebab kita memahami, berbakti pada orangtua adalah perintah ilahi, bukan sekedar balas jasa atas kebaikan orangtua yang pernah kita dapati.
Kedua. Perhatian yang tulus.
Semua dari hati akan sampai ke hati.
Tidak semua orangtua memiliki waktu yang sama untuk membersamai anak-anaknya, tetapi ketika mereka berada di tengah-tengah keluarga, mereka hadir seutuhnya. Ucapannya, bahasa tubuhnya, pujian dan tegurannya, bahkan hukuman ketika diperlukan, akan terasa sebagai bentuk kasih sayang orangtua kepada kita. Apalagi ketika kita mengenangnya hari ini, ketika kita semakin mudah memahami, mengulang pengalaman yang sama kepada anak-anak kita sendiri.
Seperti yang diungkapkan Abah Ihsan, ‘apapun profesi kita di luar rumah, ketika pulang, anak-anak hanya melihat kita sebagai ayah atau ibu mereka’. Merekalah telaga bening tempat kita mematut diri, kejujuran nurani tempat jiwa menilai diri.
. Seseru apapun anak-anak dengan game onlinenya, seayik apapun anak-anak berselancar dengan teman di dunia maya, ada yang tak pernah bisa digantikan oleh apapun, ada yang tak kan bisa terganti oleh siapapun. Kehangatan rumah kita. Di sana, ada pundak dan bahu ayah yang akan membagi kekuatan, ada detak jantung ibu yang menenangkan dan menghapus kesedihan.
Jika hari ini ada hati yang terasa menjauh, ada sikap yang terasa menyakiti, pulanglah. Ada yang harus kita luruskan, ada yang harus kita benahi.