Disusun oleh Tim Kajian PP Salimah http://www.salimah.or.id/
(Ormas yang peduli dalam peningkatan kualitas hidup perempuan, anak, dan keluarga Indonesia)
Jakarta, 12 Mei 2022
Baru-baru ini masyarakat digemparkan dengan video podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzer yang berjudul ‘Tutorial Jadi Gay di Indo’. Pada video tersebut dihadirkan dialog dengan pasangan gay yang kemudian menuai banyak kritik. Tayangan seperti ini dikhawatirkan akan sangat berpengaruh pada tatanan masyarakat Indonesia.
Pada era digital dimana data atau informasi sangat cepat serta mudah diperoleh, diakses, dan disebarluaskan, maka perlu berhati-hati dalam berinteraksi dengan media teknologi. Era digital telah memunculkan berbagai macam media interaksi, di antaranya media sosial seperti Facebook, Whatapps, Youtube, Istagram, dan lain-lain.
Menurut Laporan dari We Are Social tahun 2022 (https://datareportal.com/reports/digital-2022-indonesia), Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia. Terdapat 204,7 juta pengguna internet di Tanah Air per Januari 2022, mencapai 73,7% dari total penduduk pada awal tahun 2022, dimana total penduduk Indonesia berjumlah 277,7 juta orang pada Januari 2022. Jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Persentasenya tercatat mencapai 88,7%. Setelahnya ada Instagram dan Facebook dengan persentase masing-masing sebesar 84,8% dan 81,3%. Sementara, proporsi pengguna TikTok dan Telegram berturut-turut sebesar 63,1% dan 62,8%.
Apa jadinya jika video ini ditonton oleh anak-anak yang masih dibawah umur dan belum memiliki pemahaman yang benar tentang bahaya LGBT.
Terlepas dari belum adanya produk hukum yang dibuat tentang larangan LGBT dan Hak Asasi Manusia, namun tindak penyimpangan orientasi seksual merupakan hal yang tidak dibenarkan oleh agama apapun. Keberadaan kaum LGBT, tidak bisa dinafikkan, telah banyak terdapat di Indonesia. Namun, hal ini bukan berarti keberadaannya menjadi sesuatu yang dipromosikan bahkan dicontoh.
Beberapa potensi permasalahan yang muncul di masyarakat akibat video podcast tersebut, diantaranya:
1. Unggahan tersebut disinyalir mempromosikan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) dan pernikahan sesama jenis yang dilarang di Indonesia. Hal ini bisa dikatagorikan sebagai propaganda terhadap LGBT yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Jangan sampai kaum LGBT merasa berhak untuk mengekspresikan orientasi seksual yang menyimpang serta merusak moral dan tatanan masyarakat Indonesia.
2. Konten tersebut sangat tidak layak dan tidak mendidik terutama bagi anak. Hal ini dapat terlihat dari Judul yang diberikan yaitu “Tutorial jadi Gay di Indo…”. Seolah-olah video tersebut mengajarkan kepada masyarakat bagaimana menjadi gay di Indonesia. Padahal LBGT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan.
Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak kompleks dan efek domino bagi maraknya kasus pelanggaran hak anak. Semakin dekatnya media digital dengan anak di masa Covid-19 sebagai salah satu alternatif layanan pendidikan, mau tidak mau anak harus berinteraksi dengan media sosial tanpa disertai dengan kesiapan literasi digital pada anak. Menurut info grafis di bawah, anak juga merupakan salah satu pengguna media sosial yang jumlahnya tidak sedikit. Maka video tersebut sangat tidak layak untuk ditonton oleh anak. Sumber: https://datareportal.com/reports/digital-2022-indonesia
3. Segala bentuk praktik LGBT bertentangan dengan ketentuan hukum, perundang-undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, serta kepentingan umum. Promosi LBGT pada video tersebut dapat mengerdilkan institusi pernikahan yang sah sesuai perundangan-undangan yang berlaku, yaitu berdasarkan pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “perkawinan yang dianggap sah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
4. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memberikan larangan masyarakat menyebarkan konten bermuatan asusila. Hal itu sebagaimana diatur dalam Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
5. Indonesia menganut Demokrasi Pancasila, bukan Demokrasi Liberal. Mempromosikan LGBT merupakan demokrasi liberal bebas nilai, bukan Demokrasi Pancasila, karena Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi nilai-nilai moral bangsa dan norma agama yang berakhlak mulia.
Menurut Janu Murdiyatmoko dalam bukunya Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat, norma kesusilaan adalah suatu aturan yang dilandasi hati nurani dan budi pekerti atau akhlak.
Dengan demikian, LBGT tidaklah sesuai dengan norma kesusilaan yang terdapat di masyarakat Indonesia yang berketuhanan. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pasal 1 ayat 1, pengertian dari pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Rekomendasi Salimah sebagai Ormas yang peduli terhadap peningkatan kualitas perempuan, anak dan keluarga Indonesia:
1. Mendesak kepada Pemerintah atau Kementerian terkait untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap konten-konten di media sosial, terutama konten yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma kesusilaan yang berlaku di Indonesia.
2. Mendesak kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera melanjutkan pembahasan tentang RUU Ketahanan Keluarga, sebagai bentuk salah satu bentuk perlindungan bagi keluarga-keluarga Indonesia.
3. Memastikan tanggungjawab platform media untuk mengintegrasikan etika perlindungan anak dalam layanan sesuai dengan UU PERLINDUNGAN ANAK Pasal 15 bahwa setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi, maka:
a. Negara wajib hadir dalam melakukan perlindungan kepada anak dalam bentuk penguatan kapasitas aparat penegak hukum terkait perlindungan anak, termasuk perlindungan anak di dunia siber.
b. Setiap keluarga wajib melindungi anggota keluarganya dari pengaruh buruk media sosial serta mengembalikan fungsi keluarga sebagai penjaga nilai-nilai luhur bangsa.
c. Masyarakat baik secara individu atau kelompok wajib berperan aktif dalam mengontrol konten media sosial, bekerja sama dengan apparat terkait jika menemukan konten yang membahayakan bangsa.
4. Perlunya edukasi literasi digital dengan melibatkan sekolah, keluarga, masyarakat, media, dan pihak terkait.