| Cerpen by SNR |
Pukul 05.30
“Bapak berangkat ya, Mak,” pamit pak Ujang di teras rumah.
“Iya, Pak. Hati-hati di jalan.” Mak Ujang salim sambil cium tangan suami.
Pak Ujang jalan menuju carport.
Semenit-dua menit, ia belum juga masuk ke mobil. Lelaki berkemeja biru itu malah sibuk membongkar isi tasnya.
“Mak, kunci mobilku mana?” tanyanya.
“Loh, bukannya tadi sudah diambil dari laci?” Mak Ujang balik bertanya.
“Iya, tadi udah bapak pegang kok.” Pak Ujang pasang wajah lugu, takut dimarah istri.
Lelaki itu kembali masuk ke rumah untuk mencari kunci mobil. Tas diletakkan di meja makan. Mak Ujang ikut mencari sambil ngomel dikit-dikit.
“Kok bisa lho kunci udah di tangan ilang, Pak?”
Omelan seperti ini hampir tiap hari mampir di telinga pak Ujang. Pak Ujang sudah kebal, dianggap seperti mendengar lagu rap saja.
Tiba-tiba Ujang nongol dari kamar mandi. Bocah yang masih pakai handuk itu memegang benda persegi di tangannya.
“Mak, ini kunci mobil bapak ketinggalan di kamar mandi,” katanya.
Emak melihat ke arah bapak yang segera memasang wajah datar.
“Oh iya, lupa. Tadi bapak bawa kuncinya waktu ke toilet.” Pak Ujang garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Pukul 05.50.
Selesai mengenakan seragam sekolah, Ujang menuju meja makan untuk sarapan. Keningnya berkerut melihat benda hitam besar di atas meja.
“Mak, ini bukannya tas kerja bapak?” tanya Ujang sambil mengangkat tas kulit made in Cibaduyut.
“Ya Allah. Pasti bapak lupa.” Emak tepok jidat.
Benar saja. Tiga menit kemudian terdengar suara mobil memasuki halaman.
“Maak, tas bapak ketinggalaan.” Pak Ujang berseru dari luar.
Mak Ujang cepat-cepat membawakan tas berisi laptop dan beberapa dokumen.
“Vitamin lupanya belum diminum ya, Pak?” sindir mak Ujang.
Bapak senyum mesam-mesem.
“Tolong masukin ke mobil, ya. Bapak mau ke toilet bentar.”
Pukul 06.30.
Ujang baru saja berangkat ke sekolah diantar bang ojek langganan. Emak beberes tempat tidur.
Mata perempuan 30 tahun itu membesar ketika melihat sebuah benda pipih di atas selimut. Ponsel pak Ujang ketinggalan!
“Astaghfirullah, Bapaak. Tadi kunci, terus tas, sekarang hape. Abis ini kelupaan apa lagi, Paak?” Mak Ujang mengelus dada.
Ia segera memesan ojek langganan untuk mengantarkan ponsel suaminya ke kantor. Berpesan agar pengendara ojol itu menitipkannya ke security yang sedang piket.
Pukul 07.15
Telpon mak Ujang berdering. Ada panggilan dari suami tercinta.
“Makasih ya, Mak, sudah ngirimin hape bapak.” Suara pak Ujang di seberang terdengar sedikit bergetar. Mungkin yang ngomong sedang senyum-senyum kecut.
“Iya, Pak. Besok diulangi lagi, ya. Biar emak makin banyak pahalanya.” Mak Ujang nyindir lagi.
“Hew hew. Insya Allah besok gak akan lupa. Tapi bapak mau minta tolong sesuatu, nih.”
“Kenapa, Pak?”
“Bapak lupa kalo hari ini disuruh pake baju seragam. Soalnya diumumkannya sudah lama, dari minggu lalu. Emak tolong kirim pake ojol, ya.”
Mak Ujang speechless.
‘Paak … pak. Kapan penyakit lupamu sembuh?’ bisiknya dalam hati.
Mau marah, rasanya tak tega. Apalagi teringat artis favoritnya yang baru saja ditinggal mati suami. Sedih banget. Kata orang, rasanya seperti dunia mau runtuh. Mak Ujang auto membayangkan kalau musibah itu menimpa dirinya. Matanya jadi berkaca-kaca.
Diam-diam ia berdoa dalam hati,
‘ya Allah, sehatkan suami saya. Gak papa kalo dia suka lupa, ya Allah. Asal jangan lupa ama keluarganya aja. Lindungi dia dari musibah, ya Allah, terutama musibah pelakor. Aamiin.’ Mak Ujang kalau berdoa suka nyerempet kemana-mana.
“Mak. Kok diem?” Suara pak Ujang di seberang membuyarkan lamunan istrinya.
“Eh iya, Pak. Ntar emak kirim.”
“Sekalian tolong cariin dompet bapak, ya. Kayaknya ketinggalan di kantong celana yang bapak pake kemarin.”
Mak Ujang auto guling-guling di kasur.