Bakti Gen Z: Menjembatani Generasi Lewat Rasa Hormat dan Kepedulian

Oleh : Fidiyarini Partiwi, M.Si
Ketua Depdiklat PP Salimah

Pernahkah kamu duduk di sebelah seorang lansia dan membiarkan mereka bercerita, tanpa terburu-buru menyela? Mungkin kita jarang melakukannya. Padahal, di balik keriput dan suara yang mulai pelan, tersimpan banyak cerita—tentang perjuangan, cinta, kehilangan, dan harapan yang tak sempat mereka ucapkan.

Di sinilah kita, Gen Z. Generasi yang tumbuh bersama teknologi, informasi instan, dan budaya yang serba cepat. Menurut data BPS 2023, jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 27,94% dari total penduduk—itu sekitar 75 juta jiwa. Kita adalah generasi dengan potensi luar biasa. Tapi, di tengah semua kemajuan, ada satu hal yang tak boleh kita lewatkan: berhenti sejenak untuk peduli.

Dua Generasi, Dua Dunia?

Sekarang, coba bayangkan dunia para lansia. Banyak dari mereka sudah kehilangan pasangan, jauh dari anak-anak, atau hidup sendiri. Menurut data Kementerian Sosial, Indonesia memiliki lebih dari 21 juta lansia, dan sebagian besar dari mereka mengalami keterbatasan ekonomi, akses layanan kesehatan, bahkan interaksi sosial.

Di sisi lain, kita—Gen Z—juga punya beban sendiri. Tekanan hidup, overthinking, krisis identitas, dan kesepian yang kadang datang diam-diam. Kita sibuk dengan dunia yang bising, tapi sering lupa bahwa ada generasi yang lebih dulu menjalani semuanya, dan kini hanya butuh didengarkan.

Sama-sama manusia. Sama-sama butuh dimengerti.

Bakti Itu Bukan Soal Besar Kecilnya, Tapi Soal Mau atau Tidak

Berbakti kepada lansia nggak harus nunggu momen spesial. Nggak perlu selalu soal materi. Kadang, hanya dengan duduk menemani, mengantar ke klinik, atau mengajarkan cara pakai HP—itu sudah sangat berarti buat mereka.

Dan buat kita? Itu cara terbaik untuk belajar jadi manusia yang utuh.

Karena sebenarnya, memuliakan lansia bukan cuma soal “sopan santun” versi lama. Ini tentang belajar menghargai proses hidup, tentang menyambungkan masa lalu dan masa depan dengan hati.

Bukti Nyata: Sekolah Lansia dan Toga yang Akhirnya Mereka Kenakan

Di tengah usia yang tak lagi muda, banyak lansia sebenarnya masih punya mimpi yang belum sempat mereka wujudkan. Salah satunya: merasakan bangga di wisuda. Mereka pernah menyekolahkan anak, mengantar sampai pakai toga, tapi mereka sendiri tak pernah merasakannya—karena lebih memilih mengalah dan berkorban.

Kini, impian itu pelan-pelan diwujudkan lewat hadirnya Sekolah Lansia Salimah di ratusan kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Di tempat sederhana namun penuh cinta itu, mereka bukan hanya belajar mengaji atau menambah ilmu, tapi juga tertawa bersama saat senam, saling menguatkan saat berbagi cerita, dan dicek kesehatannya dengan penuh perhatian. Dan di akhir program, mereka diwisuda. Sebuah momen yang ternyata begitu berharga, dengan senyum yang tulus dan mata yang sering kali berkaca-kaca, mereka Bahagia. Bukan karena gelarnya, tapi karena akhirnya mereka merasa dihargai, didengar, dan tidak dilupakan.

Menghormati yang Tua, Menjaga Akar Bangsa

Satu bangsa dikatakan besar bukan karena tingginya gedung atau canggihnya teknologi, tapi karena akhlaknya. Dan salah satu akhlak tertinggi adalah menghormati mereka yang lebih tua. Jika kita ingin Indonesia jadi negeri yang kuat dan bermartabat, maka sikap hormat itu harus hidup di tengah kita—bukan sebagai formalitas, tapi sebagai nilai yang ditanam sejak muda.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.”
(HR. Tirmidzi, no. 1919)

Jadi, mari kita mulai. Bukan karena ini tren, tapi karena ini benar. Karena di masa depan, kita pun akan menua, dan semoga nanti ada generasi baru yang memuliakan kita… seperti kita memuliakan mereka hari ini. Selamat hari Lansia 2025!

What do you think?

Related news