Pagi di Cikuray

Penulis: Emy Harahap
Dept Humas PW Salimah DK Jakarta

Fath meletakkan ranselnya di tepi jalan setapak. Ia memandang sekelilingnya dengan senyum dikulum. Di kaki gunung Cikuray, suasana pagi itu terasa hidup dan penuh semangat. Udara sejuk pegunungan di Desa Cilawu, Garut, Jawa Barat ini, terasa menyapu kulit, segar dengan aroma tanah basah, embun, dan daun pinus. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, sementara matahari mulai menyelinap pelan di balik lereng, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan.

Tampak puluhan pendaki berkumpul. Di satu sisi, kelompok yang baru saja turun bersama Fath tadi duduk beristirahat. Wajah mereka lelah namun penuh kepuasan. Beberapa di antaranya tertawa, saling bertukar cerita seru tentang jalur yang terjal, kabut yang menutup pandangan, dan keindahan puncak yang mereka capai. Sepatu mereka kotor berlumpur, celana sedikit basah, namun semangat mereka tetap tinggi, bangga karena telah menaklukkan ketinggian.

Di sisi lain, para pendaki yang akan naik mulai bersiap. Ada yang memeriksa tali sepatu, mengencangkan carrier, dan mengecek logistik terakhir seperti air, makanan ringan, serta jaket tebal. Ada pula yang diam sejenak, menatap jalur pendakian yang menjulang ke atas dengan campuran antusias dan gugup. Beberapa dari mereka tampak baru pertama kali naik, ditemani rekan-rekan yang lebih berpengalaman.

Fath memicingkan matanya. Ia seperti melihat sosok sahabatnya. Setelah yakin, Fath datang mendekat dan mencolek pundaknya. Yang dicolek berbalik, dan terbelalak melihat Fath. Mereka lalu berpelukan sambil tertawa.

“Sejak kapan kamu di sini, Fath?”

“Aku baru turun, nih. Kamu baru mau naik, Ly?”

Lily mengiyakan. Ia lalu mengajak Fath ke sebuah tenda ungu. Suara obrolan bercampur dengan bunyi kompor portable yang menyala, disertai aroma mi instan mengepul dari tenda-tenda kecil di sekitar basecamp tersebut. Anak-anak muda tertawa, sebagian merekam vlog, sementara para porter lalu-lalang mengangkut barang dengan cekatan.

Lily mengeluarkan kotak bekal dari ranselnya.

“Kamu pasti lapar. Sini makan dulu,” ajak Lily.

Kali ini ganti Fath yang terbelalak.
Nasi liwet hangat dengan sambal cikur yang pedas segar, ditemani tahu goreng dan ikan asin, semua tersaji di dalam kotak bekal beralaskan daun pisang. Aroma wangi cikur (kencur) langsung merebak.

“Kamu kok tahu sih kalau aku lagi ingin makan nasi cikur?” seru Fath. “Lagian kan, ini bekalmu, kok diberikan ke aku?”

“Tenang, aku ada satu kotak lagi, kok,” sahut Lily.
“Ayo dimakan! Aku tadi sudah sarapan bareng sama teman yang lain.”

Fath langsung makan dengan lahap. Perjalanan menuruni Cikuray benar-benar telah menghabisi enerjinya. Di tengah perjalan tadi, ia sudah membayangkan menikmati nasi hangat dengan sambal cikur. Tak disangka, ia bertemu Lily dan kini sedang menikmati sambal impiannya.

Lily memperhatikan Fath, seperti sedang berpikir.

“Kenapa kamu lihatin aku gitu? Masih mau?” tanya Fath sambil menjilati sambal di sendoknya.

“Enggak. Aku itu lagi mikir, amalan apa sih yang kamu lakukan?”

“Hah? Amalan? Amalan yang mana?”

“Nah itu yang aku mau tahu. Aku heran, kenapa Allah memberi pelajaran dengan menghadirkan orang-orang kayak kamu di hidup aku.”

“Orang kayak aku gimana?” tanya Fath bingung.

“Aku belum ngerti banget, sih. Eh, kamu ingat nggak, waktu aku beri syal ke kamu? Kamu bilang apa, ‘Iih, aku baru mau check out lho di olshop. Kok kamu tahu aku ingin syal cakep ini?’

Ibu aku juga, waktu aku pulang kampung sambil bawa hasil panen jahe dari kampus. Ibu bilang ‘Kok kamu tahu ibu lagi batuk?’

Dan satu lagi, waktu ada teman se_club_ aku beri pisau lipat, senangnya bukan main, karena katanya punya dia sering hilang saat mendaki.”

“Terus kenapa?” Fath berusaha membagi kosentrasi, antara mendengarkan Lily dan nikmatnya ikan asin di mulut.

“Ya, kayak gayung bersambut gitu, lho. Aku kan nggak tahu kalau barang yang aku bakalan beri, memang lagi diinginkan. Kata ibuku kayak gambaran surga, baru disebut di hati, eeh ngga lama langsung dapat yang diinginkan. Kayak misteri nggak, sih?”

“Berarti kamunya kali yang soleha, Ly. Allah beri kamu kesempatan untuk bersedekah di saat yang tepat.”

“Ah, aku kan nggak soleha-soleha amat. Ya memang aku senang sih, orang yang aku beri juga senang. Padahal mereka kan nggak minta ya, kok pas banget momennya. Bagiku ini masih misteri, kenapa bisa terjadi gitu, ya?”

“Ya udah, kamu pikirin aja nanti sambil mendaki. Eh, kamu uda cukup bawa perlengkapan? Air gimana, seberapa banyak kamu bawa?”

“Secukupnya aja lah, buat minum,” Lily membereskan kembali ranselnya.

“Air untuk wudhu?” Fath berusaha mengingatkan.

“Berat dong, kan bisa tayamum ntar.”

“Kamu tahu kan dibolehkan tayamum itu dalam keadaan gimana?”

“Dalam keadaan darurat. Dan kalau tidak ada air,” jawab Lily sekenanya.

“La, kamu ini pergi emangnya dalam keadaan darurat? Untuk bersenang-senang ngisi liburan, kan? Lagian di sana ada air kok, di pos dua,” cetus Fath.

“Yah, masak kita turun lagi ke pos dua untuk wudhu doang? Capek dong,” tukas Lily.

“Kamu naik bisa, kok turun ngga bisa? Makanya bawa aja air untuk berwudhu.”

“Lagian kita kan naik gunung untuk tadabbur alam, merenungi ciptaan Allah.” Lily berusaha cari alasan.

“Merenungi ciptaan, tapi nggak patuh sama penciptanya. Shalat itu nomor satu, sayang. Maka upayakan sempurna. Kamu nggak naik gunung juga nggak dosa, kok malah menomorduakan kesempurnaan shalat,” gusar Fath.

“Iya..iya..ustadzah. Apalagi nih nasihatnya?” Lily berkedip jenaka.

“Sampai di atas jangan lupa berdoa.”

“Selalu itu aja ya pesanmu kalau lagi gini. Emang kamu yakin, setiap doa kamu dikabulkan?” serang Lily.

“Yakin dong. Contohnya tadi ya, saat di atas, aku berdoa minta kepada Allah agar diberi uang seratus juta.”

“Terus, dapat nggak uangnya?” Lily menggoda.

“Bisa aja kan Allah mengabulkan doaku bukan dengan memberi rezeki berupa uang. Tapi berupa keselamatan bisa turun sampai di sini dengan aman. Mungkin saja aku ditakdirkan tadi jatuh ke jurang, misalnya. Luka dan perlu perawatan di rumah sakit yang bisa menghabiskan biaya sampai seratus juta. Karena tadi aku sudah berdoa, bisa jadi Allah bukan tidak mengabulkan doaku tapi menggantinya dengan sesuatu yang lain yang lebih aku butuhkan, hingga aku bisa sehat sampai sekarang.”

“Ih, pinter banget jawabnya.”

“Kan Allah nggak pernah ingkar janji. Kitanya aja yang harus cerdas mencerna bentuk kasih sayangNya,” pungkas Fath.

Lily mengangguk-angguk setuju. Tak lama terdengar suara ketua rombongan memanggil peserta untuk segera bersiap-siap. Sebelum berpisah, sekali lagi Fath dan Lily berpelukan. Saling mendoakan, tidak hanya di suara namun juga di lubuk hati terdalam, agar sahabat tersayang selalu dalam penjagaan yang Maha Kuasa.

Suasana di kaki gunung bukan hanya tentang keberangkatan dan kepulangan, tapi juga tentang pertemuan, semangat kebersamaan, dan cinta pada penguasa alam. Di sana, semangat petualangan dan rasa syukur menyatu dalam harmoni yang hanya bisa dirasakan para pendaki.

What do you think?

Related news