Penulis: Reni Anggrayni
Ketua Umum Salimah
Adalah Anggi, seorang ibu muda (mahmud alias mamah muda istilah zaman sekarang), sedang menemani putri sulungnya, Hania, sambil menyuapinya makan siang.
Hania adalah balita gembil yang penuh rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang dilihatnya. Rasa ingin tahu ini membuat fokusnya selalu tertuju pada pertanyaan “apa” dan “kenapa”.
Namun, di sisi lain, Hania kurang tertarik dengan makan. Ia cukup kooperatif membuka mulut saat disuapi, tetapi enggan mengunyah alias senang diemut. Hebatnya, gigi Hania tetap kuat dan utuh—tidak geripis dan tidak berlubang. Mungkin karena Bunda Anggi disiplin tidak memberi permen dan cokelat, serta rajin menggosok giginya.
Siang itu, Bunda Anggi bercerita pada Hania tentang lapisan tanah di bumi, sambil membuka buku ensiklopedia anak tentang Bumi Kita.
“Cantik anak Bunda, lihat deh. Ternyata tanah tempat kita berpijak itu berlapis-lapis. Ada tanah gembur, tanah keras, batu, dan kemudian air. Lapisan-lapisan itu membuat tanah yang kita pijak menjadi kokoh. Seperti rumah, fondasinya terdiri dari tanah, batu, pasir, dan air.
Selain itu, Hania kalau ke kamar mandi, buka keran, lalu keluar air, kan? Nah, itu juga berasal dari tanah.
Pipa bor menembus lapisan tanah sampai ketemu titik air. Kalau dibor lebih dalam lagi, bukan cuma air yang keluar, tapi bisa juga gas dan minyak bumi. Gas untuk menyalakan kompor saat Bunda masak di dapur. Dari minyak bumi, dengan alat separator akan memisahkan menjadi bahan bakar seperti bensin dan solar, kemudian ter atau aspal, dan minyak tanah.
Tapi, untuk mengebor sampai gas dan minyak bumi lebih rumit karena tidak setiap tempat ada sumber tersebut. Harus dibuat peta kontur dan penelitian formasi tanah dulu,” jelas Bunda Anggi sambil menunjuk gambar tanah dan strukturnya.
Hania kecil membulatkan matanya, mengangguk-angguk kagum akan cerita Bunda. Tapi pipinya masih menggelembung karena nasi belum juga ditelan.
Anggi gemas. Ia menyoel pipi Hania.
“Ayo, nasinya dikunyah dan ditelan, ya. Nanti bunda lanjut cerita lagi,” bujuk bunda.
Ucapan Bunda Anggi manjur. Hania buru-buru menelan makanannya.
“Pintarnya, salihah anak Bunda. Makanannya sudah ditelan. Masya Allah ya, Nak. Allah menciptakan alam ini ternyata penuh dengan ilmu yang bisa dipelajari dan dikembangkan,” suara bunda terdengar lembut di telinga Hania.
مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ
“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar” (QS. Al-Ahqaf: 3).
Begitulah keseharian Anggi. Perempuan 27 tahun ini memanfaatkan waktu menyuapi anaknya untuk mengajarkan bahwa Allah Maha Pencipta. Bahkan dari tanah saja, begitu banyak ilmu yang bisa digali.
(Bersambung)