Janji di Langit Gaza

Bagain 1:
Inspirasi dari Reruntuhan di Bumi yang Hangus

Penulis: Reni Anggrayni
Ketua Umum Salimah

Dentuman bom masih saja terdengar. Kadang sayup karena jauh, namun sering pula menggelegar. Jatuh tepat di tenda pengungsi yang berdiri di atas reruntuhan rumah, bangunan sekolah, gedung-gedung, bahkan bekas klinik atau rumah sakit.

Ya, dikatakan “bekas” karena bangunan tersebut sebelumnya adalah rumah sakit yang dihancurkan begitu saja oleh Israel. Itu dilakukan agar rakyat Palestina yang terluka tak bisa diobati. Mereka dibiarkan meninggal seketika, atau perlahan tanpa harapan.

Terlintas pertanyaan: apakah pemimpin bangsa tak beradab itu masih memiliki akal sehat? Kalau nurani sudah terlalu jauh untuk bisa dipahami, apalagi dimaknai olehnya.

Jelas ini bukan perang. Karena perang tidak menghancurkan rumah penduduk, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah.

Konflik atau perang pada umumnya terjadi antara dua pihak bersenjata yang saling berhadapan. Tentara dengan tentara. Yang dilumpuhkan biasanya adalah pemerintahan dan sistem persenjataannya.

Namun, dentuman bom dan letupan senjata laras panjang justru diarahkan ke tenda pengungsi yang dihuni warga sipil. Korban yang dibidik adalah perempuan dan anak-anak, karena kaum lelakinya telah maju ke garis depan medan laga.

Maka, ini bukan perang atau konflik berkepanjangan. Ini adalah genosida. Targetnya adalah menghapuskan satu etnis: Bangsa Palestina. Juga menghapus tanah airnya dari peta dunia. Diganti dengan kesombongan yang berlumur darah dari tangan para pemimpin yang telah kehilangan nalar dan rasa kemanusiaan.

Satu nama: Israel. Persenjataan mereka mumpuni dan canggih. Strateginya licik. Menghalalkan segala cara untuk memporak-porandakan negeri dan menghabisi ratusan ribu nyawa.

Namun, ada satu hal yang mereka lupa. Atau justru karena itu mereka bertindak membabi buta.

Tujuh puluh tujuh tahun telah berlalu. Seluruh belanja negara mereka habiskan. Seluruh pikiran dan tentara terbaik mereka kerahkan. Tapi mereka tak mampu juga melenyapkan bumi para nabi, tanah yang diberkahi.

Kisah pilu yang mengharu biru, yang berlinang air mata ini, justru menghadirkan inspirasi yang berdampak dahsyat. Sedahsyat kebiadaban yang dipertontonkan oleh para penjajah.

Mereka sejatinya bukan sedang menghilangkan bangsa Palestina, tetapi justru sedang menelanjangi kebiadaban mereka sendiri di mata dunia.

Masyarakat dunia tak menyebut Israel hebat. Tak ada lagi keberpihakan. Yang muncul justru kecaman, amarah, boikot produk terafiliasi, dan desakan agar mereka diseret ke mahkamah militer internasional atas kejahatan perang terhadap bangsa Palestina.

Sementara itu, di balik reruntuhan tembok yang hangus, di antara bara api dan serpihan martir, Palestina menjadi contoh sokoguru peradaban bangsa yang tangguh—di tanah yang diberkahi.

Tangis mereka bukan hanya karena kehilangan keluarga, melainkan karena luka yang ditorehkan atas kebiadaban yang melampaui batas nalar kemanusiaan.
Seruan mereka semata-mata adalah bentuk tanggung jawab menjaga Al-Quds.

Di tengah suasana mencekam dengan ketidakpastian hidup, para ibu, perempuan, ayah, dan pemuda tetap mengajarkan pada anak-anak mereka tentang ketangguhan jiwa, keikhlasan hati, dan kokohnya keyakinan akan pertolongan Allah di tengah kejamnya penindasan.

Mereka tetap berkomitmen dan konsisten tinggal di bumi para nabi. Menjaga Baitul Maqdis.

Tanpa ragu, mereka terus mempersiapkan generasi tangguh dengan kekuatan iman dan ketakwaan kepada Allah Ta‘ala.

Bumi Anbiya ini juga telah membuktikan: pada akhirnya manusia akan kembali kepada Sang Pencipta.

Ariel Sharon, pendahulu Netanyahu, yang dahulu kejam membombardir Palestina, pun tak mampu menguasai dirinya. Selama bertahun-tahun, raganya hidup namun jiwanya seperti terpenjara. Tubuh yang sebagian membusuk, tak juga mampu ditinggalkan oleh ruhnya. Hidup dalam raga yang seakan mati.

Bukankah ini peringatan dari Allah? Bahwa jangan berlaku sombong di muka bumi, karena sesungguhnya Allah-lah pemilik segala kuasa.

Dan sementara itu, di tengah dentuman bom dan gugurnya para syuhada—dalam raga yang tak lagi utuh—wajah mereka justru tersenyum bahagia. Ruh mereka telah purna melaksanakan tugas, pada tubuh yang berbalut debu jihad, menjaga Al-Quds dengan cinta dan keyakinan.

وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَن يُقْتَلُ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتٌۢ ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al-Baqarah: 154)

Kematian dalam syahid adalah kebahagiaan hakiki. Perjalanan panjang untuk menjumpai Sang Kekasih Sejati, Allah Ta‘ala. Hilang sudah perih luka raga. Berganti sepoi angin surga yang menyambut ruh-ruh yang setia menepati janji kepada Rabb-nya.

مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبْدِيلًا

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya). (Al-Ahzab: 23).

What do you think?

Related news