Ketua Depdiklat PP Salimah
Pernah nggak sih, terlintas satu pertanyaan absurd tapi diam-diam menghantam hati begitu dalam: “Kalau anak bisa memilih, masihkah ia memilih kita sebagai orang tuanya?”
Pertanyaan ini biasanya muncul bukan saat semuanya baik-baik saja, tapi justru di tengah kekacauan kecil sehari-hari. Seperti ketika kita mendadak marah besar hanya karena segelas air tumpah di atas kasur yang baru diganti sprei. Atau saat sedang curi waktu lima menit di kamar mandi untuk sekadar bernapas, lalu terdengar tangisan anak karena puzzlenya “nggak mau nurut”. Kadang juga datang saat kita sadar sudah tiga hari lupa mencuci seragam mereka, atau bagi yang bekerja lupa bercerita ketika akan tidur dan rasa bersalah lain menyusup tanpa permisi.
Orang Tua Zaman Sekarang: Banyak Cinta, Banyak Drama
Saat ini, kita hidup di zaman yang menuntut banyak peran dalam satu tubuh. Jadi orang tua hari ini bukan cuma soal ngurus anak makan, mandi, dan tidur. Tapi juga harus jadi manajer keuangan yang mikir belanja bulanan nggak jebol, jadi kurir kilat yang lari antara sekolah, tempat kerja, warung, dan bergegas berangkat kerja pagi, atau dirumah dengan list kerjaan yang gak ada habisnya, namun masih sempat update status Instagram dan FB biar nggak hilang dari peradaban.
Belum lagi sebagai seorang makhluk sosial selain domestik yang kita urus bagi yg bekerja tentu urusan kantor, relasi, dan teman kerja, sedangkan ibu rumah tangga ada berderet kegiatan seperti pertemuan orang tua, pengajian, arisan mulai dari RT sampai keluarga besar, organisasi, senam dan masih banyak lagi jika diurai. Rasanya 24 jam sehari masih kurang untuk mengurai semua aktivitas kita.
Sementara itu, anak kita hidup di dunianya sendiri yang ajaib dan tak terduga. Yang masih balita, pagi-pagi bisa bangun dengan nyanyian, siangnya bisa meledak tangis hanya karena sendoknya bukan warna favorit, sorenya minta peluk hangat tanpa alasan, dan malamnya merengek nonton video bayi panda sampai ketawa-tawa sendiri. Yang sudah sekolah, buku ketinggalan, ada tugas bawa barang, kaus kaki yang tidak sama sampai siapin bekal.
Belum lagi yang jelang dewasa, SMA ke atas dramanya beda lagi. Antara ada dan tiada, chat gak langsung dijawab, pulang telat lupa bilang dan jika sampai rumah diam membisu masuk kamar dan menghilang. Keluar cuma untuk makan dan wifi lemot. Rasanya lelah luar biasa. Lahir bathin.
Kadang kita bahkan bertanya, “Eh koq sudah jelang magrib ?”
Di Balik Kekacauan, Ada Cinta yang Tak Berhenti
Kadang kita berpikir, “Aku bukan orang tua ideal”.
Iya, karena nggak ada orang tua yang ideal tiap hari. Yang ada: orang tua yang tetap mencoba, walau kadang gagal, walau sering ragu. Kita marah, lalu minta maaf. Kita sibuk, lalu meluangkan waktu. Kita lelah, tapi tetap peluk anak erat-erat sebelum tidur dan tetap japri dan telepon walau jawaban mereka super singkat.
Jika malam tiba saat hanya kita dan Sang Pencipta, berbisik mengadu padaNya, terlintas wajah-wajah tenang mereka yang tertidur pulas meluruhkan semua emosi saat memandangnya, muncul satu pikiran yang mengusik, “Aku bukan orang tua yang ideal.”
Rasanya akrab, ya? Karena kenyataannya, memang tidak ada orang tua yang selalu ideal setiap hari. Yang ada adalah orang tua yang bangun pagi dengan niat terbaik, lalu keteteran, lalu merasa bersalah, lalu tetap mencoba lagi besok.
Percayalah pada saat kita sangat merasa bersalah, anak-anak kita nggak ingat detail kekacauan yang bikin kita merasa gagal. Mereka nggak simpan omelan-omelan itu selamanya. Yang mereka simpan justru yang hangat-hangat: pelukan di malam hari, suara tawa di ruang keluarga, dan mata kita yang tetap menatap mereka penuh cinta meski lagi capek banget. Mereka ingat bahwa kita ada, bahwa kita sayang mereka.
Jadi, Kalau Anak Bisa Memilih
Mungkin mereka nggak akan pilih kita karena kita paling kaya, paling sabar, paling kreatif, atau paling pengertian. Karena jujur aja, saldo kadang cuma cukup buat beli susu sama bensin. Sabar? Kadang kalah sama sendok dan mainan favorit yang nggak ketemu. Kreatif? Kita pernah kehabisan ide bekal dan akhirnya ngasih nasi + telur ceplok + harapan.
Namun, mungkin yang bikin mereka milih kita, bukan karena kita sempurna, tapi karena kita nyata. Karena walau rempong, lelah, dan kadang ngomel, kita selalu balik lagi. Selalu hadir, selalu sayang, selalu mendoakan, dan buat mereka… itu ternyata cukup. Bahkan mungkin, itu yang paling penting.
Mari Jeda Sejenak, Isi Dulu Bukan Sempurna
Nah, jika rumah rasanya kayak kapal pecah, emosi sempat meledak karena hal sepele, atau susu tumpah lagi padahal baru dipel tadi pagi, coba tarik napas sebentar. Duduk. Tutup mata sebentar kalau perlu.
Kita perlu menyadari satu hal, fakta bahwa walau mungkin sudah baca buku atau bahkan mengikuti sekolah pranikah dan ikut kelas pengasuhan, tidak ada orang tua yang benar-benar siap. Kita semua nyemplung duluan, baru belajar berenang belakangan.
Tapi satu hal yang pasti: kita selalu berusaha. Dengan cinta yang sering nggak terlihat, tapi terasa.
Jadi, izinkan kita memenuhi dahulu tangki syukur sebagai manusia, tangki ibadah, dan tangki cinta tanpa syarat, maka silangkan kedua tangan kita dan cengkram lengan atas kita.
Peluk diri kita lebih erat dan tarik napas perlahan. Ucapakan terima kasih karena kamu sudah berhasil menjalani hari sebelumnya dan tetap berjalan dihari ini.
Lalu, peluk pasanganmu, karena kalian nggak cuma jadi orang tua, tapi juga dua orang dewasa yang lagi sama-sama belajar sambil kadang saling lelah.
Kemudian peluk anakmu, karena dia adalah alasan kenapa, di tengah semua kehebohan, kamu tetap bangun tiap pagi dan bilang, “Bismillah, Ayo, mulai lagi !”
Anak nggak butuh orang tua yang serba bisa. Mereka cuma butuh kamu dan juga pasanganmu yang hadir. Percayalah, kalau anak bisa memilih, besar kemungkinan mereka tetap akan pilih kamu. Dengan segala peluh, peluk, dan tawa yang cuma ada di rumah kalian.
Selamat Hari Anak Nasional 2025
Untukmu, yang mungkin merasa biasa-biasa saja, tapi di mata anakmu… kamu adalah rumah!